Senin, 30 Mei 2011

BIOGRAFI HABAIB

KH. Mahrus Aly

Beliau lahir pada tahun 1906 di dusun Gedongan kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon Jawa Barat, ayah beliau KH Aly bin Abdul Aziz dan ibu beliau Hasinah binti Kyai Sa’id, KH. Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi, masa kecil beliau lebih banyak dijalani di tanah kelahirannya, sifat kepemimpinan beliau sudah nampak pada saat masih kecil, hingga beranjak remaja, sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarganya, disinilah beliau diasuh oleh ayahnya sendiri KH Aly dan kakak Kandungnya Kyai Afifi. Pada saat beliau berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmunya di Pesantren Panggung Tegal, asuhan Kyai Mukhlas Kakak iparnya sendiri, disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni, selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kyai Balya seorang jawara pencak silat asal Tegal Gubug Cirebon. Pada saat monok di tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927, selanjutnya KH. Mahrus Aly meneruskan pencarian ilmunya di Pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah yang diasuh KH. Kholil, setelah 5 tahun menuntut ilmu dipesantren ini atau sekitar tahun 1936 KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni sehingga KH. Mahrus Aly tinggal mempedalam dan tabaruqan saja, bahkan beliau diangkat menjadi Pengurus Pondok. Selama nyantri di Lirboyo beliau dikenal sebagai satri yang tak pernah letih mengaji, jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabaruqan dan mengaji di Pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. PP. Watu congol muntilan Magelang, asuhan Kyai Dalhar. Juga pondok pesantren Langitan tuban, Sarang dan Lasem Rembang.

Sebenarnya KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidaklah lama, hanya sekitar tiga tahun saja, namun karena kealimannya membuat KH. Abdul Karim menjadi jatuh hati, dan menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab. Tepatnya pada tahun 1938. kemudian pada tahun 1944 KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman disebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo, ditangan mereka berdualah kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo, banyak santri yang berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti), peran serta KH. Mahrus Aly dalam usaha membangkitkan kemerdekaan juga tidak bisa diremehkan, hal ini disebabkan peran beliau dalam mengirimkan 97 santri pilihan dari pondok pesantren Lirboyo untuk menumpas sekutu di Surabaya, yang belakangan ini dikenal dengan peristiwa 10 November, hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di daerah kediri dan juga mempunyai andil yang besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlotul Ulama’, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa trimur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985

Duka menggelayut Pondok Pesantren Lirboyo tepatnya pada hari senin tanggal 04 Maret 1985, sang istri tercinta Ibu Nyai Hj. Zaenab berpulang kerahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama nyai derita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan, hingga banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 mei 1985 kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri akhirnya beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo Surabaya dengan menggunakan Helikopter atas perintah Pangab LB. Moerdani, manusia berusaha namun Allah Jualah yang menentukan, meskipun pelbagai upaya medis paling canggih sekalipun telah diupayakan oleh tim dokter yang terbaik di RS Dr. Soetomo surabaya, akhirnya KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di surabaya. Berita meninggalnya KH. Mahrus Aly membuat duka yang sangat mendalam bagi keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo, karena mereka semua telah kehilangan panutan yang selama ini mereka idolakan dan mereka bangga-bangakan. Beliau wafat diusia 78 tahun.

Sayyid Agil Bin Muhammad Al Ba’bud

Oleh Muhammad Arwani, MA
(Sumber: Wawancara dengan Ust. Hasan Agil Ba'abud)

Kelahiran dan Nasab
Nama lengkap Muassis Pondok Pesantren dan Madrasah Al Iman Bulus Gebang, Purworejo ini adalah
Sayyid Agil Bin Muhammad Al Ba’bud. Masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Wan Agil atau Ndoro Agil. Di kalangan santri Al Iman Bulus, beliau disapa dengan Ustadz Agil. Sayyid Agil lahir di Bulus,
Purworejo pada tahun 1918 M dan wafat hari Jum’at, 7 Dzul qo’dah H, bertepatan dengan 3 Juli 1987.
Beliau putra Sayyid Muhammad Al Ba’bud dan ibu Raden Ayu Salimah, putri KRT Khasan Mukmin, Pengulu Landrat Karanganyar, Kebumen.
Rihlah ‘Ilmiyyah (Pendidikan)
Seperti ulama yang lain, Sayyid Agil melewati masa kecil dan remajanya di berbagai pesantren. Setalah belajar dengan Ayahandanya, beliau melanjutkan pendidikannya di berbagai pesantren untuk mengaji berbagai disiplin ilmu keislaman. Beliau belajar al Qur’an kepada Al Maghfurlah Simbah KH. Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang. Saat nyantri di Watucongol, Sayyid Agil sudah yatim. Hubungan Sayyid Agil dengan Simbah Dalhar sangat dekat, sehingga beliau diangkat anak oleh Mbah Dalhar.
Selesai ngaji al Qur’an pada Mbah Dalhar, Sayyid Agil melanjutkan nyatri pada Al Maghfurlah Simbah KH. Ibrahim, Lirap Kebumen. Di Lirap, Sayyid Agil belajar Nahwu dan Shorof yang memang menjadi ciri khas pesantren ini. Pembelajaran Nahwu Shorof yang khas di Lirap pada waktu itulah yang kemudian diadopsi Sayyid Agil di dalam model pembelajaran Qawa’id Arabiyyah di Pesantren dan Madrasah Al Iman. Hingga saat ini, pembelajaran nahwu khas ini masih dipertahankan di Pesantren Al Iman oleh penerus beliau Sayyid Hasan Agil Al Ba’bud.
Rasa haus akan ilmu pengetahuan membawa Sayyid Agil melanjutkan belajar kepada Al Maghfurlah Simbah KH. Maksum Lasem. Pada Mbah Maksum. Di sini, beliau belajar banyak kitab-kitab fiqih dan tasawwuf hingga Muhadzdzab, kitab yang di kalangan pesantren merupakan symbol dari puncak keilmuan. Di Lasem ini pula, beliau bersama Al Maghfurlah Simbah KH. Khudlori, Muassis Pesantren API Tegalrejo Magelang, pernah di ‘baiat faqir’ (baiat untuk siap hidup miskin di dalam memperjuangkan Islam) oleh Mbah Maksum, Lasem.
Selesai dari Lasem, Sayyid Agil belajar pada Sayyid Sagaf bin Abdurrahman al Jufri (Ustadz Sagaf), Magelang. Kepada Ustadz Sagaf, beliau belajar Hadits dan Bahasa Arab. Cerita yang berkembang, Sayyid Agil bersama beberapa teman ngaji pada ustadz Sagaf mendirikan lembaga pendidikan dengan nama yang sama, yakni ‘Al Iman’. Beberapa madrasah dan Pesantren bernama ‘Al Iman’ di Kabupaten Magelang seperti Al Iman Margoyoso, Salaman, Al Iman Kajoran, Al Iman Payaman, dipercaya didirikan oleh murid-murid Ustadz Sagaf. Beberapa dekade yang lalu, lembaga-lembaga ‘Al Iman’ ini sering mengadakan acara-acara bersama, seperti kemah Pramuka dan sebagainya.
Di samping belajar berbagai ilmu di berbagai pesantren, Sayyid Agil juga belajar Thoriqoh dan beliau mendapatkan sanad Thoriqoh Alawiyyah dari Ayahandanya, Sayyid Muhammad Al Ba’bud.
Kiprah dan Perjuangan
Sayyid Agil bin Muhammad Al Ba’bud adalah salah satu tokoh penting di dalam pengembangan agama Islam di Kabupaten Purworejo. Beliau dikenal tokoh yang memiliki visi pendidikan yang modern. Sepulang dari rihlah ilmiyyah, beliau mendirikan Pondok Pesantren Al Iman Bulus. Pesantren yang didirikan dikembangkan dengan model klasikal-madrasi.
Pada waktu itu, belum banyak, untuk tidak mengatakan tidak ada, tokoh-tokoh yang mengembangkan pendidikan Pesantren dengan model klasikal. Pesantren-pesantren di Purworejo, pada zaman beliau hidup, seperti Berjan, Maron, Sindurjan, dan sebagainya masih menggunakan model Pesantren Salaf non-klasikal. Sayyid Agil lah yang berinisiasi mendesain pembelajaran pesantren dengan model klasikal-madrasi, dengan kurikulum berjenjang antar kelas.
Di bidang sosial keagamaan, beliau aktif di organisasi NU Kabupaten Purworejo. Sebagai tokoh pendidikan yang berfikiran sangat maju pada zamannya, Sayyid Agil dipercaya memimpin salah satu bidang di organisasai NU, yakni Ketua LP. Ma’arif NU.
Bersama dengan ulama’ seangkatannya, seperti al Maghfurlah Simbah KH. Nawawi (Berjan), Simbah KH. Sulaiman Zuhdi (Sindurjan) dan Simbah KH. Damanhuri (Purworejo), Simbah Asnawi Umar (Pangen, Purworejo), beliau berjuang di NU sesuai di bidangnya masing-masing. Sayyid Agil dikenal sebagai tokoh pendidikan yang sangat alim dalam bidang Hadits dan Bahasa Arab. Sementara Simbah KH. Nawawi intens dalam bidang politik, Simbah KH. Sulaiman Zuhdi sangat sederhana,sufi dan dikenal ikhlas. Simbah Damanhuri sangat ahli di bidang fiqih. Simbah Asnawi Umar intens di pemerintahan.Tokoh-tokoh ini sangat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Banyak cerita yang berkembang mengisahkan keakraban mereka. Para Kyai sepuh ini sering saling mengaji satu sama lain. Pada Sayyid Agil, para ulama itu belajar banyak tentang Hadits. Sebaliknya, Sayyid Agil meminta ijazah kitab ‘Dalailul Khoirot’ pada Simbah Sulaiman.
Wasiat, Peninggalan, Karya-Karya Dan Cerita Khash
Al Maghfurlah Ustadz Sayyid Agil bin Muhammad Al Ba’bud meninggalkan tradisi keilmuan yang masih terjaga hingga kini. Pesantren dan Madrasah Al Iman Bulus Purworejo merupakan buah perjuangan beliau selama hidup. Pesantren yang kini memiliki tak kurang dari 1000 santri tersebut menjadi saksi perjuangan al Maghfurlah.
Di Pesantren Al Iman ini, Sayyid Agil mendedikasikan seluruh perjuangan kependidikannya. Pesantren dan madrasah Al Iman merupakan Pesantren pertama di Kabupaten Purworejo yang menggunakan metode pembelajaran klasikal dan menggunakan kurikulum tertentu dan berjenjang. Sayyid Agil merintis pendidikan klasikal yang saat itu masih dianggap asing di Purworejo. Di samping mengembangkan pesantren salafiyyah-madrasiyyah, Sayyid Agil juga mengembangkan pendidikan formal dengan mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).Untuk ukuran saat itu, apa yang dilakukan Sayyid Agil merupakan lompatan yang sangat brilliant. Beliau mampu melihat kebutuhan santri sekian puluh tahun ke depan. Sayyid Agil rupanya sangat faham akan kebutuhan pendidikan formal bagi santri-santrinya. Ini terbukti pada waktu-waktu berikutnya di mana alumni menjadi fleksibel di dalam mengembangkan diri dan dapat berjuang dalam berbagai bidang. Meskipun bukan menjadi orientasi utama, pendidikan formal ! pada saat itu ternyata cukup berhasil melahirkan santri-santri yang tidak saja diterima oleh kalangan ulama dan kyai, tetapi juga bisa masuk di berbagai sektor, baik formal di pemerintahan, maupun non pemerintahan. Banyak santri yang menjadi Pendidik, PNS, politisi, hingga perangkat. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang menjadi da’i dan ulama yang memimpin pesantren maupun majlis ta’lim.
Secara pribadi, Sayyid Agil dikenal sebagai tokoh yang rendah hati, membaur dengan masyarakat. Beliau lebih suka berpakaian muslim Jawa, bersarung dan berpeci, dari pada berjubah. Beliau tidak pernah menunjukkan ke-Arab-Sayyid-annya. Beliau dikenal orang hanya dengan nama Ustadz Agil, tanpa gelar Al Ba’bud. Gelar Al Ba’bud baru dikenal banyak orang akhir-akhir ini saja.
Sayyid Agil di kalangan santri beliau, dikenal sangat suka menggunakan bahasa Arab di dalam komunikasi harian. Setiap saat beliau menggunakan bahasa Arab untuk berbicara, menjelaskan materi pelajaran di kelas dan berceramah di depan santri-santrinya. Tidak ada santri yang sowan ke Ndalem untuk minta iziin pulang, misalnya, tidak menggunakan bahasa Arab. Maka sangat wajar, pada waktu itu, pesantren Al Iman sangat terkenal dengan bahasa Arabnya. Kemampuan alumni Al Iman dalam bidang bahasa Arab sangat disegani oleh pesantren lain.
Di sela-sela kesibukannya yang padat dalam mengajar santri di Pesantren dan Madrasah dan kesibukan berdakwah, beliau selalu menyempatkan diri untuk menulis kitab. Berbagai kitab telah banyak beliau tulis, terutama kitab-kitab panduan untuk belajar Nahwu yang dikenal sangat khas di Al Iman. Menurut cerita, Beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis. Setiap malam Selasa, beliau meliburkan Ngaji Sorogan kitab Nahwu dan Shorof untuk digunakan menulis. Beliau menulis banyak karya, dari mulai kitab nahwu sharaf, kitab ratib, do’a-do’a, bahkan khutbah jum’at. Semua beliau tulis dengan tangan. Tulisan tangan beliau sangat rapi dan indah. Sampai saat ini, tulisan-tulisan tangan beliau itu masih terawat dengan baik dan tidak pernah diterbitkan meskipun pernah ditawari oleh Penerbit.
Berikut beberapa contoh tulisan Sayyid Agil

Tradisi peninggalan beliau yang sangat khas di Pesantren dan Madrasah Al Iman yang sampai saat ini masih dipertahankan adalah pembelajaran kitab Tafsir Jalalain sebagai mata pelajaran utama dan pembelajaran sorogan kitab-kitab nahwu dan sharaf. Sampai saat ini, Tafsir Jalalain merupakan kitab andalan yang dikaji di Madrasah Aliyah (MA), dipelajari dari kelas X, XI dan XII. Seminggu setidaknya 6-8 jam pelajaran digunakan untuk mempelajari kitab ini. Pada akhir tahun pelajaran, biasanya diadakan khataman kitab tafsir ini.
Di samping tafsir Jalalain, pembelajaran yang sangat khas adalah kitab Nahwu-Shorof. Kitab nahwu-Shorof mulai dari Jurumiyyah, I’rab, hingga Alfiyah dilakukan dengan sorogan. Setiap santri, dari mulai yang baru masuk yang mengaji Jurumiyyah, hingga yang senior yang mengaji Alfiyyah, harus menghadap satu persatu pada Kyai. Keunikan lain dari pembelajaran nahwu-Shorof ini adalah pada cara baca kitab yang masih sangat kuno dan detil. Pemaknaan nadzom (bait), misalnya dibaca tidak berurutan sesuai kata-kata pada nadzom tersebut, tetapi dibolak-balik, sesuai setruktur kalimatnya. Penambahan keterangan-keterangan yang memudahkan pemahaman juga menjadi ciri khas lain yang hingga kini masih dipertahankan di Pesantren Al Iman.
Sayyid Agil adalah orang yang sangat menjaga tradisi ilmu dan Ngaji. Beliau menyampaikan pada santrinya untuk selalu yakin bahwa ngaji itu merupakan sarana terbaik untuk menjadi seorang muslim. Dan orang ngaji itu akan selalu diberi kemudahan oleh Allah. Beliau punya kata mutiara yang sering menjadi pegangan, yakni “Ora ono wong ngaji iku kekurangan”, (tidak ada orang yang ngaji itu jatuh miskin)
Beliau wafat pada usia 69 tahun, dimakamkan di belakan masjid komplek Pondok Pesantren Al Iman Bulus Purworejo. Dari pernikahannya dengan Al Maghfur laha Syarifah Salmah, beliau mempunyai putra-putri, yaitu:
1. Sayyid Muhammad (tinggal di Surabaya)
2. Syarifah Nukmah (meninggal)
3. Sayyid Alwi (tinggal di Kudus)
4. Sayyid Hasan (Pengasuh Pesantren Al Iman, Purworejo)
5. Syarifah Anisah (Istri Sayyid Abdurrahman Al Ba’bud, mantan anggota DPRD Purworejo)

Selasa, 17 Mei 2011

Habib Hasan bin Ja’far Assegaf

Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lahir di bogor tahun 1977, di tengah-tengah wilayah para ulama besar termasuk almarhum kakek beliau Al Imam Al Qutub Al Habib Abdullah bin Muhsin Alatas sebagai pemimpin para wali dizamannya. Silsilah beliau menyambung dari ibundanya, yaitu Syarifah Fatmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah Alatas.
1. Silsilah :
Al Habib Hasan bin Ja’far bin Umar bin Ja’far bin Syekh bin Abdullah bin Seggaf bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Adurrahman Seggaf bin Ahmad Syarif bin Abdurrahman bin Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Syekhul Kabir Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi Al Ghuyur bin Al Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohibul Mirbath bin Ali Kholi Qosam bin Aliw bin Muhammad bin alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Al Imam Husein Assibit bin Imam Ali KWH bin Fatimah Al Batul Binti Nabi Muhammad SAW
2. Pendidikan
Beliau belajar dengan para habaib dan ulama, diantaranya :
Al Imam Al Hafidz Al Musnid Al Habib Abdullah bin Abdul qadir Bilfaqih dan putera-putera beliau : Habib Abdul qadir bilfaqih, Habib Muhammad bilfaqih, Habib Abdurrahman bilfaqih ( Pondok pesantren Daarul Hadits Al Faqihiyyah, Malang ).
• Syekh Abdullah Abdun, Daruttauhid malang
• Syekh Umar Bafadhol, Surabaya
• Al Imam Al Arif billah Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul qadir Assegaf dan putera-putera beliau diantaranya Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Yayasan Ats-Tsaqofah Al Islamiyyah ).
• Al Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi (selaku yang mengijazahkan maulid simtudduror).
• Al Habib Abdullah bin Husein syami Alatas dikediaman beliau R.a.
• Al Habib Abubakar bin Hasan Alatas, Martapura.
• KH. Dimyati, Banten.
• KH. Mama Satibi dan putera beliau, Cianjur.
• KH. Buya Yahya, Bandung
• Muallim Sholeh, Bogor.
Dan masih banyak lagi para ulama lainnya.



3. Dakwah Beliau
Dakwah beliau menjunjung tinggi Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Mengajak para pemuda pemudi, orang-orang tua maupun anak kecil berdzikir dan bersholawat yang dimulai dari :
• Kota bogor
• Sukabumi
• Bandung
• Jakarta dan sekitarnya.
4. Tujuan Dakwah
Mengikuti kakek moyang beliau sampai kejunjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan mengajak para muslimin dan muslimat :
• Membaca Al-Qur’an.
• Membaca Ratib Al-Atas dan Ratib Al-Haddad
• Mengenalkan salaf sholihin dengan berziarah kepada para wali Allah ketempat orang-orang sholeh.
• Membesarkan nama Rasulullah dengan pembacaan maulid
Harapan
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Seorang bersama yang dicintainya “, harapan beliau agar diakui oleh Rasulullah SAW dan datuk-datuknya. Semoga semua ummat Rasulullah SAW mendapat ridho Allah dan syafaat Rasulullah SAW, kelak nanti dihari kiamat masuk surga bersama Nabi Muhammad SAW.
Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Apabila telah tersebar perzinahan, perjudian, permabukan, anak durhaka kepada orang tua, istri durhaka kepada suami dan banyaknya yang makan riba maka masuklah kalian kejalan keluargaku, selamatlah kalian dari malapetaka (Riwayat Abu Daud).
HABIB JINDAN
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.
Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.
Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.
Berkah Ulama dan Habaib
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.
Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.
Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.
Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.
Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Sumber Inspirasi
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”
Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.
Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.
Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.
“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. (alkisah)
Wirid Syech Abu Bakar Bin Salim
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . اَللّهُم يَا عَظِيْمَ السلْطَانِ يَاقَدِيْمَ اْلاِحْسَانِ يَادَإِمَ النِّعَمِ يَاكَثِيْرَ الْجُوْدِ يَاوَاسِعَ الْعَطَاءِ يَاخَفِيَّ اللُّطْفِ ، يَاجَمِيْلَ الصُّنْعِ يَِاحَلِيْمًالاَ يَعجَلُ . صَلِّ يَا رَب عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاله وَسَلم وَارض عَنِ الصَّحَابَةِ اَجْمَعِيْنَ . اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ شُكْرًا وَلَكَ الْمَنُّ فَضْلاً وَاَنْتَ رَبُّنَا حَقا وَنَحْنُ عَبِيْدُكَ رِقاًّ وَاَنْتَ لَمْ تَزَ لْ لِذَا لِكَ اَهْلا.ً يََا مُيَسِّر كُل عَسِيْرٍ وَيَاجَابِرَ كُل كَسِيْرٍ وَ يَا صَاحِبَ كُل فَرِيْدٍ وَيَامُغْنِيَ كُل فَقِيْرٍ وَيَامُقويَ كُل وَيَامَأْمَن كُل مَخِيْفٍ ، يَسرْ عَلَيْنَاكُلَّ عَسِيْرٍ ، فَتَيْسِيْرُالْعَسِيْرِعَلَيْكَ يَسِيْرٌ . اَللّهُمَّ يَامَنْ لاَيَحْتَاجُ اِلَى الْبَيَانِ وَالتَّفْسِيْرِ حَاجَاتُنَاكَثِيْرٌ ، وَاَنْتَ عَالِمٌ بِهَاوَخَبِيْرٌ ، اَللّهُمَّ اِنِّيْ اَخَافُ مِنْكَ وَاَخَافُ مِمَّنْ يَخَافُ مِنْكَ ، وَاَخَافُ مِمَّنْ لاَ يَخَافُ مِنْكَ . اَللّهُمَّ بِحَقِّ مَنْ يَخَافُ مِنْكَ نَجِّنَامِمَّنْ لاَ يَخَافُ مِنْكَ . اَللّهُمَّ بِحَقِّ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ اُحْرُ سْنَابِعَيْنِكَ الَّتِى لاَ تَنَامُ ، وَاكْنُفْنَا بِكَنَفِكَ الَّذِيْ لاَيُرَامُ وَارْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ عَلَيْنَا فَلاَ نَهْلك وَاَنْتَ ثِقَتُنَا وَرَجَاؤُنَا . وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ وَالِه وَصَحْبِه وَسَلَّمَ ، وَالْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . عَدَدَخَلْقِه َورِضَى نَفْسِه وَزِنَةَعَرْشِه وَمِدَادَكَلِمَاتِهًََََُِِِِِِِِِّّّّّّّّّّّْْْ ضَعِيْفٍَِِِّّْ
اَللّهُمَّ اِنَّانَسْأَ لُكَ زِيَادَةً فِى الدِّ يْنِ ، وَبَرَكَةً فِى الْعُمُرِ وَصِحَّةً فِى الْجَسَدِ وَسِعَةً فِى الرِّ زْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَشَهَادَةًعِنْدَالْمَوْتِ . وَمَغْفِرَةً بَعْدَالْمَوْتِ وَعَفْوًاعِنْدَ الْحِسَابِ وَاَمَانًامِنَ الْعَذَابِ وَنَصِيْبًامِنَ الْجَنَّةِ وَارْزُقْنَا النَّظَرَاِلى وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلىََ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ وَالِه وَصَحْبِهِ وَسَلَّمٌ (سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّايَصِفُوْنَ وَسَلمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَدْلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.عَدَدَخَلْقِه ورِضَى نَفْسِه وَزِنَةَعَرْشِه وَمِدَادَكَلِمَاتِه .َ

Minggu, 15 Mei 2011

Biografi Habib Luthfi Bin Ali Bin Yahya

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.

NASAB BELIAU :
Al Habib Muhammad Luthfi bin Sayid Ali al Ghalib bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar Bin Sayid Thaha sahibur ratib (yang menyusun ratib Kubro) bin Sayid Muhammad bin Sayid Thaha bin Sayid Hasan bin Sayid Syekh bin Sayid Ahmad bin Sayid Yahya bin Sayid Hasan bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Faqih Muqadam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali bin Sayid Muhammad Sahib Marbath bin Sayid Khala ‘Ali Qasam bin Sayid ‘Alawi bin Sayid Muhammad bin Sayid Muhammad an Naqib bin Sayid ‘Isa an Naqib bin Sayid Ahmad al Muhajir bin Sayid Abdullah bin Sayid ‘Alawi bin Sayid ‘Ali al ‘Uraidhi bin Sayid Ja’far Shadiq bin Sayid Muhammad al Baqir bin Sayid ‘Ali Zainal Abidin bin Sayid Imam Husain as Sibthi bin Sayidatina Fathimah az Zahra binti Sayidina Muhammad Saw.
Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
• Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
• Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
• Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
• Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu melanjutkan ke Mekah, Madinah dan dinegara lainnya. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
• Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
• Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
• Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
• Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
• Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
• Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
• Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.

Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
• Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:
• Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.
Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
• Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
• Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
• Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
• Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
• Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
• Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
• Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.

Jabatan Organisasi:
• Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
• Ketua Umum MUI Jawa Tengah.
• Anggota Syuriyah PBNU.dll.

Sabtu, 12 Februari 2011

Habib Abubakar bin Hasan Assegaf (Pasuruan)

 

Dai Muda yang Gigih Berdakwah

Usia Habib muda ini terbilang masih muda, Habib Abubakar bin Hasan Assegaf (Pasuruan) termasuk dai muda yang gigih dalam berdakwah. Materi ceramah-ceramahnya telah diterima dengan luas di kalangan Habaib dan muhibbin di Jawa Timur


Habib muda asal Pasuruan ini memang sekarang ini termasuk tokoh vokal yang sering menyampaikan amar ma’ruf nahy munkar ke berbagai lapisan masyarakat, baik melalui cermah-ceramah agama ataupun lewat tulisan. Pendapat-pendapatnya kerap muncul di media-media baik melalui koran, majalah maupun televisi dalam menyikapi persoalan terkini di tengah-tengah masyarakat.

Ditopang dengan suaranya lantang dan lugas dalam menyampaikan ceramah dan taushiyah, tak heran bila jadwal undangannya sangat padat. Panggilan dakwah untuk menyuarakan kebenaran, menurut Habib Abubakar bin Hasan Assegaf adalah semata-mata karena ingin meneruskan jejak Rasulullah SAW. “Rasulullah SAW juga adalah seorang dai,” kata Habib Abubakar membuka perbincangan dengan alKisah.

Prinsipnya dalam berdakwah adalah tetap berpegang pada bil hikmah wal mau’idzotil hasanah. Itulah sekilas sosok dari Habib Abubakar bin Hasan Assegaf, seorang pedakwah muda yang tinggal di Kota Pasuruan. Ia dilahirkan di Pasuruan pada 16 September 1974. Ia merupakan putra sulung dari Habib Hasan Assegaf. Di Jami’ah Nahdalatul Ulama Kabupaten Pasuruan ia masih menjabat sebagai A’wan Syur’iah dari 1997- sekarang.

Nama Abubakar yang ia sandang adalah pemberian nama dari Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Habib Soleh Tanggul). Ketika itu, Habib Muhammad bin Hud Assegaf (sang kakek) kebetulan menjadi khadam (pelayan) dari Habib Soleh Al-Hamid. “Jadi ketika saya lahir, kebetulan saat itu Habib Soleh ada di Pasuruan dan sang kakek langsung meminta Habib Soleh Tanggul untuk memberinya nama. Akhirnya saya diberi nama Abubakar karena ingin tafa’ul (menaruh harapan) kepada kakek dari ibundanya yakni Habib Abubakar bin Muhammad (kakek buyut).”

Bahkan ketika masih kecil, Habib Soleh Tanggul juga pernah mentahmidnya (menyuapkan makanan disertai bacaan doa). Habib Hasan Assegaf (ayahnya) pernah berkata kepadanya, ”Habib Soleh itu termasuk guru kamu. Walaupun kamu itu tidak tahu.” Masa kecil dari Habib Abubakar bin Hasan Assegaf banyak dibesarkan dalam lingkungan Habaib dan Ulama yang ada di Jawa Timur. Abah sering membawanya ke berbagai majelis taklim yang diigelar oleh Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf.

Habib yang satu ini menempuh pendidikan formal SD Islam Pasuruan tahun 1987 M dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif tahun lulus 1407 H (1987 M). Ia kemudian masuk ke Ponpes Salafiyah yang diasuh oleh KH Abdul Hamid, lulus tahun 1410 (1990 M) sampai tingkat Madrasah Tsanawiyah. Selain pendidikan formal, ia mengaji sorogan dengan beberapa ustadz dan Kyai. Seperti Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf, KH Asrori (Lebak, Winongan, Pasuruan) dan lain-lain.

Pada waktu masih usia kanak-kanak ia belajar al Qur’an dengan ustad H. Harun, “Beliau adalah guru saya dalam usia Al-Qur’an. Saya juga sempat mencoba belajar menghafal Al-Qur’an dengan KH Imran bin Abdullah bin Yasin (Pasuruan), namun tidak sampai selesai karena keburu mendapat kesibukan dalam urusan pengajian (dakwah) dan pada usia remaja ia sudah mulai keliling berdakwah.

Ia mengaku paling banyak mendapatkan ilmu, selain dari Habib Taufiq, ia mengaku banyak mempunyai kesan mendalam dengan salah satu gurunya yakni KH Asrori. “Dari KH Asrori, saya banyak menghatamkan beberapa kitab yang tidak sempat saya khatamkan di saat saya menempuh pendidikan formal, seperti kitab-kitab fiqh; Fathul Muin, Fathul Wahab, Uqudul Juman, Faraid, Hisab, Kalam, Ilmu Warud (Qowafi). Beliau ahli dalam bidang hisab dan faroid.”

KH Asrori, lanjut Habib Abubakar, sekalipun beliau orang alim beliau sangat tawadhu, low profile sehingga kalau orang melihat sekilas mungkin orang tidak percaya kalau beliau adalah orang yang alim. Bahkan ketika mengajar saya itu beliau yang datang ke rumah saya. Awalnya saya datang ke rumahnya, pada akhirnya beliau meminta yang akan datang ke rumah saya. Bahkan kadang-kadang sempat menunggu saya ketika itu saya masih tertidur karena semalam ada pengajian. Dengan telaten beliau datang hampir tiap hari untuk memberi pelajaran kitab. Saya belajar pada beliau 3 tahunan.”

Selepas menimba berbagai ilmu dengan para ulama dan habaib yang ada di Pasuruan, ia bersama Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan ulama-ulama muda yang ada di Pasuruan sempat mendirikan DPI (Dakwah Pemuda Islam) tahun 1996-1997. Kegiatan utama dari DPI adalah pembacaan Maulid dan ceramah agama. Kebetulan yang mengisi adalah duet Habaib Muda Pasuruan yakni Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf dan Habib Abubakar bin Hasan Assegaf. Pengajian yang diselengarakan oleh DPI itu dihadiri oleh ribuan pemuda muslimin dari berbagai pelosok Pasuruan dan sekitarnya. Kegiatan majelis taklim yang diselenggarakan olehg DPI sifatnya berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid yang lain di sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan.

Begitu antusiasnya respon masyarakat dan umat terhadap Dakwah Pemuda Islam (DPI), sehingga wadah pemuda ini dijadikan organisasi keagamaan yang sifatnya lokal di Pasuruan. Namun gerak DPI ini kemudian dibayang-bayangi oleh kekuatan Orde Baru yang saat itu begitu kuat menancapkan kekuasaan di berbagai lini, termasuk terhadap keberadaan organasasi sosial dan kemasyarakatan. “Akhirnya DPI dibubarkan, dikhawatirkan ada kerawanan. Pola-pola dakwah dengan pengerahan masa menjadi rawan,” katanya.

Lebih lanjut Habib Abubakar mengisahkan pada waktu itu banyak isu-isu yang kurang mengenakan, sehingga ia berinisiatif dengan teman-temannya yang lain, DPI dibubarkan pada tahun 1999. Selepas membubarkan diri (DPI bubar), ia dan kawan-kawannya mulai membuat alternatif lain dalam berdakwah, dengan menerbitkan majalah, media cetak, radio Suara Nabawiy.

Lima tahun yang lalu, ia mengampu sebagai Pemimpin Umum dan sekaligus pemimpin redaksi Majalah Cahaya Nabawiy sebuah majalah Islam cukup terkenal di kalangan habaib dan muhibbin di Jawa Timur dan sekitarnya. Ketika aktivitas dakwahnya yang semakin padat, pada awal tahun 2007 ia memutuskan berhenti dari Cahaya Nabawiy dan lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan ceramah yang datang dari berbagai penjuru Pasuruan dan kabupaten-kabupaten di Jawa Timur pada khususnya. “Sekarang saya keluar dari Cahaya Nabawiy dan teman-teman yang lain yang melanjutkan gerakan dakwah.”

Dunia dakwah memang menjadi jalan hidupnya, beberapa majlis taklim dan masjid yang dahulu pernah ia tangani kini satu persatu mulai ia pasrahkan kepada para generasi muda lulusan Tarim (Hadhramaut) yang baru datang dan merintis dakwah di Pasuruan. “Jadi bisa dibilang sekarang saya sudah tidak punya pengajian rutin. Tapi lebih sering pengajian yang sifatnya ceremonial, seperti hajatan, ataupun peringatan hari besar Islam.”

Jadwal Solo

Ada satu pengalaman yang mengesankan dirinya saat berceramah di Masjid Assegaf dalam rangka peringatan maulid atas perintah Habib Syekh bin Abdubakar Assegaf. Sewaktu Habib Syekh bin Abubakar Assegaf (alm), mukim di Solo, ia sempat diminta mengisi secara rutin dalam setahun sebanyak dua kali untuk menyampaikan dakwah di masjid Assegaf, Solo. Masjid Segaf (Solo) yang mendirikan adalah Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik). Habib Abubakar dijadwal rutin pada acara Maulid 12 Rabiul Awal dan malam Khatmil Qur’an (malam 21 Ramadhan). Mulai tahun 1996 dan berjalan 5 tahun, namun jadwal ceramah itu terhenti selepas Habib Syekh wafat dan ia tidak lagi berceramah di masjid itu.

Saat berceramah di Masjid Assegaf itu juga dihadiri oleh Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi (Solo). Saat itu ia menyampaikan untuk kembali pada tatanan ajaran para salaf leluhur alawiyin dan manhaj mereka, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, karena sudah mapan dan tidak perlu diragukan lagi baik dalam aqidah, maupun thariqah dalam ibadah. Rupanya Habib Anis (alm) terpukau oleh materi dan gaya ceramahnya, karenanya ia meminta bertemu di zawiyah Ar-Riyadh, Gurawan (Solo).

Sebelum ia pulang ke Pasuruan, sempat berziarah ke makam Habib Alwi di samping masjid Riyadh lalu bersilaturrahmi dengan Habib Anis. “Ya Abubakar, sebaiknya banyak menghafal ayat-ayat, hadits-hadits, kalam-kalam serta dalil-dalil dari tangan para auliya dan ulama. Usahakan itu semua dihafal dan anda akan selalu siap untuk berceramah dalam kondisi apa pun dan akan menambah mantap apa yang diorasikan.”

Habib Anis juga menyampaikan pesan, ”Usahakan isi ceramah tidak dikonsep sebelumnya. Usahakan apa yang disampaikan mengalir apa adanya, sehingga yang mengkonsep ceramah kita adalah Allah SWT. Sehingga kalau yang mengkonsep itu Allah, ucapan kita itu masuk ke hati orang walaupun dengan bahasa yang sederhana.”

Selain itu, Habib Anis sempat berpesan agar lebih terang-terangan dalam menyampaikan dakwah dalam menyikapi masalah Syiah. ”Jangan lagi pakai sindiran, jaga manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah ini dan ajaran salaf alawiyin, khususnya untuk para pemuda alawiyin. Saya masih ingat betul pesan beliau ini. Selain itu saya juga dapat wejangan beliau tentang pentingnya berdakwah.”

Pesan dari Habib Anis Al-Habsyi (alm) itu masih tertanam dalam relung hatinya yang terdalam dan dijadikan sebagai pegangan dalam mengemas untaian-untaian mutiara kata-kata yang penuh hikmah untuk disampaikan kepada kaum muslimin. Ia kini merencanakan untuk membukukan orasi-orasi yang pernah sampaikan di beberapa tempat dan dianggap penting. ”Alhamdulillah, orangnya sudah ada yang menangani. Paling tidak dari orasi-orasi saya itu bisa diubah menjadi bahasa narasi, semoga bisa segera dibukukan. Kalau pun tidak, minimal bisa untuk koleksi saya pribadi, ” katanya.

Seiring dengan perkembangan jaman, tantangan berdakwah itu semakin berat. “Kita tahu, sekarang tuntutan masyarakat semakin banyak. Dengan pesatnya perkembangan teknologi ini otomatis berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Sehingga kadang-kadang kita mau tidak mau juga kita dituntut didalam menyampaikan ceramah itu harus mengikuti perkembangan yang ada, supaya ceramah kita itu menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat (audiens). Karena hanya dengan cara itulah, dakwah bisa diterima.”

Habib Abubakar juga melanjutkan, apalagi sekarang ini kita melihat model-model dakwah yang beraneka ragam, tapi juga tidak sedikit yang menyimpang dari cara dakwah. Itu merupakan tantangan buat kita, untuk menyampaikan kepada umat Islam, mana cara dakwah yang benar dan mana yang tidak. Jadi artinya, kita itu ngemong, apa mau nya masyakarat.

”Kadang-kadang audiens kita maunya dibumbuni humor, selama tidak kebablasan dan ngawur, masih terkendali itu tidak masalah, yang penting dakwahnya masuk. Tujuan kita yang utama adalah berdakwah. Kita harus selalu ingat misi berdakwah. Bukan kita terbawa oleh mereka, tapi bagaimana kita membawa mereka. Selama setiap dai itu tahu dan mengerti tujuan dakwah, ia tidak akan terbawa oleh arus masyarakat, tapi bisa membawa umat itu untuk menerima dakwah kita.”

Kegigihannya dalam berdakwah, karena Rasulullah SAW sendiri telah banyak memberi suri tauladan dalam berdakwah. ”Saya teringat ucapan Rasululah SAW yang berkata kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib, ‘Seandainya Allah memberi petunjuk pada satu orang dengan sebab kamu maka itu lebih baik buat kamu itu nilainya dari pada kendaraan yang terbaik (yang paling mewah).’ dalam riwayat yang lain disebutkan, lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”

Bagaimana dengan dakwah lebih dari satu orang?, lanjutnya, syukur-syukur kalau orang yang mendengarkan itu bisa disertai dengan hidayah Allah sehingga orang tersebut menjadi bertobat atau menjadi lebih baik karena mendengar dakwah kita. Itu yang paling bernilai di dunia ini.”Tidak ada yang kita andalkan, baik ilmu, amal, akhlaq kita jauh bila dibandingkan dengan generasi salaf. Jadi apa yang kita bisa dan kita miliki kita berikan, kemudian kita berusaha semaksimal mungkin ikhlas tanpa pamrih sehingga tidak sia-sia apa yang kita upayakan.”
 

Jumat, 14 Januari 2011

Habib Ghazi bin Ahmad Syahab, Semarang: Pakar Tafsir yang Tawadhu’

 


Dia dikenal sebagai pakar ilmu tafsir di Semarang. Namun dia juga membina anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak membaca Al-Quran dari dasar.

Di kalangan habaib dan muhibbin di Semarang, nama Habib Ghazi bin Ahmad bin Mustafa bin Husin bin Syahab dikenal sebagai ahli tafsir Al-Quran, dan dia mengajarkan salah satu cabang ilmu Al-Quran ini dalam berbagai majelis ilmu. Ya, habib yang pernah belajar tafsir kepada Syaikh Abdul Hamid Kisyk (ulama besar di Kairo, Mesir) ini memang sangat gemar dengan kajian ilmu tafsir.

Di berbagai majelis, Habib Ghazi memang mengajarkan berbagai ilmu. Namun yang paling dia sukai adalah mengajar tafsir Al-Quran dengan pedoman tafsir Syaikh Abdul Hamid Kisyk. Ketika mengajar di Majelis An-Nur Jalan Petek 55 Semarang, dia mempergunakan kitab tafsir sang guru yang berjudul Rihabut Tafsir (Memperluas Pencerahan Ilmu Tafsir).

Sudah tiga tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru sampai surah Al-Baqarah ayat 173. Ini menunjukkan betapa dia sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran.

Mengapa menggunakan kitab Syaikh Abdul Kadir Kisyk? “Meski secara fisik beliau itu buta, pengetahuannya dan hafalannya sangat luar biasa,” katanya.

Tafsir karya Syaikh Abdul Hamid Kisyk berbentuk tahlili, yaitu kata per kata. Tafsirnya mirip Tafsir Al-Maraghi, tetapi lebih modern. “Sebagai contoh, belum ada pembahasan tentang bayi tabung, tetapi Syaikh Abdul Hamid Kisyk telah membahasnya dengan tuntas. Intinya membolehkan, selama sesuai dengan syari’at Islam, yaitu benih berasal dari suaminya yang sah,” tuturnya.

Aqidah dalam kitab ini sangat kuat dan berdasarkan pendapat salafush shalih. Dalam hadits pun dia sangat kuat dan mendetail.

Di Mesir, para ulama agak segan menerangkan ihwal Bani Israil secara benar sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran, karena pemerintah Mesir melarang para dai atau syaikh menjelek-jelekkan bangsa Israel.
“Bani Israil orang yang telah mencampakkan syari’at dari Allah itu ke belakang, bukan ke arah muka. Kalau dibuang ke belakang jelas tidak akan dipungut lagi, tetapi kalau dibuang ke muka masih ada kemungkinan akan dipungut lagi, sebab masih akan dilalui,” kata Habib Ghazi tentang Bani Israil sesuai dengan tafsir Al-Quran yang diajarkan oleh gurunya.

Yang menarik, sebelum dimulai atau sesudah selesai pelajaran tafsir ini, Syaikh Kisyk membacakan shalawat yang indah. “Jadi ajaran beliau tidaklah berbeda dengan para sadah Alawiyin, seperti tahlil, tawassul, dan barakah,” katanya.

Keteladanan Eropa

Habib Ghazi lahir di Kelurahan Tuan-tuan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 15 Maret 1963. Anak kelima pasangan Sayyid Ahmad bin Mustafa bin Syihab dan Syarifah Aminah binti Muhammad Husnan Alaydrus ini memulai pelajaran agamanya di Madrasah Al-Falah di dekat rumahnya pada sore hari, sedang pada pagi hari masuk sekolah dasar.

“Khususnya dari Ustadz Alwi bin Thayib bin Abdurrahman Alaydrus, saya mendapatkan pelajaran membaca dan menulis Arab pegon (Arab Melayu). Ustadz Alwi adalah murid Habib Husin bin Abdurrahman bin Syihab yang merantau dari Jakarta ke Pontianak pada tahun 1960,” ujarnya.

Selapas pendidikan dasar, dia melanjutkan ke Pondok Pesantren Darussalam Gotor, Ponorogo, Jawa Timur. Masuk 1976 dan lulus tahun 1982. Di Gontor, dia sempat diajar oleh K.H. Zarkasyi, salah seorang Trimurti di pondok modern ini. Kemudian masih mondok lagi di Pondok Dalwa, pimpinan Habib Hasan Baharun Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, sembilan bulan, dan pindah ke LPPIA di Jalan Cikini. Di sana dia belajar selama enam bulan.

Pada awal 1984, dia mendapat beasiswa dari pemerintah Mesir untuk belajar ke Universitas Al-Azhar pada jurusan dakwah. Di sana dia belajar selama tiga tahun, tapi tidak sempat mendapatkan gelar karena terbentur masalah keuangan. Kemudian dia ke Saudi hingga 1987.

Habib Ghazi mengikuti kuliah reguler hanya tiga tahun. Sebab waktunya sering tersita untuk bekerja di Arab Saudi, khususnya ketika musim haji datang. “Kerja di Saudi selama empat bulan gajinya bisa digunakan untuk hidup di Mesir selama setahun,” katanya.

Karena putus kuliah, seorang seniornya di Al-Azhar, yaitu Habib Alwi bun Husin Syahab, M.A., asal Palembang, membawanya bekerja di Saudi dan mengajakanya tabarukan dengan mengikuti ta’lim Habib Abdul Kadir bin Ahmad Assegaf di Jeddah. Selain tabarukan di majelis Habib Abdul Qadir, dia juga tabarukan di Majelis Sayyid Muhammad Al-Maliki di Makkah.

Pengalaman waktu ta’lim di Saudi, ada teman-temannya berjumlah tiga orang. Salah satu teman ini, begitu sampai di tempat Habib Abdul Kadir, langsung disuruh pulang.

Tentu saja teman ini bingung, padahal dari rumah sudah necis.

Seorang teman lain menasihatinya, “Karena kamu disuruh pulang, ya pulang saja, jangan banyak tanya-tanya lagi.”

Esoknya dia datang lagi, tetapi kali itu sambutannya lain. Habib Abdul Kadir menyambutnya dengan hangat, bahkan memberikan amplop berisi uang, yang juga berasal dari hadirin lainnya, kepada tiga mahasiswa itu. Habib Abdul Kadir tahu, mereka banyak keperluannya, seperti untuk membeli buku, sewa rumah, transportasi.

Pada tahun 1988, Habib Ghazi kembali ke Mesir untuk mengikuti halaqah di beberapa masjid oleh syaikh Al-Azhar, seperti Syaikh Dr. Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Muttawali Sya’rawi, Syaik Abdul Hamid Kisyk.

Asy-Syaikh Dr. Abdul Halim Mahmud banyak mengarang buku agama. Ketika mengajar di Sorbone, Prancis, dia sangat terkesan tinggal di negeri tersebut, dan kesannya itu ditulis dalam sebuah bukunya.
“Saya sangat terkesan di Eropa dengan ajaran Islam yang diterapkan di sana. Tetapi sayang ketika saya berkunjung ke negara muslim, yang ada hanya iman.

Di Eropa, kita tidak mendapatkan iman, tetapi ajaran seperti kebersihan, memegang amanah, dan lainnya, diterapkan. Semoga kita di negara muslim ini, selain beriman kepada Allah, juga menerapkan ajaran Islam dengan konsekuen.”

Jawa Ngoko di Belanda

Dia juga pernah dakwah di kota Den Haag, negeri Belanda, selama setahun, 1989-1990, yang menampung adalah orang-orang Islam Suriname.

“Dulu mereka disuruh memilih kewarganegaraan, Suriname atau Belanda. Ada beberapa orang Suriname asal Jawa yang memilih kewarganegaraan Belanda dan kini tinggal di Den Haag. Mereka mendirikan Hobema Islamische Centruum (Pusat Dakwah Islam di Jalan Hobema), mengajar ngaji, shalat, dan di situ saya menjadi gurunya.

Kebetulan saya pernah di Gontor enam tahun dan di Bangil satu tahun, jadi bisa bahasa Jawa, meski ngoko. Namun ternyata justru nyambung, karena orang Suriname bahasa Jawanya juga ngoko.”

Pelajaran yang bisa dipetik dari negeri Belanda, antara lain, disiplin dalam setiap waktu serta menjaga kebersihan.
Keperluan makanan halal di Belanda juga tidak terlalu sulit. Bahkan di negeri Kincir Angin ini daging sembelihan dari rumah potong yang diselenggarakan dengan cara Islami oleh orang Islam keturunan Pakistan dan Maroko justru digemari masyarakat Belanda.

“Alasan mereka, daging potong orang Islam ini dagingnya lezat dan gampang dipotong. Sedang daging hewan yang tidak dipotong dengan cara Islam, dagingnya tidak lezat dan dagingnya alot,” katanya. Lebih lezat, karena peredaran darahnya lebih lepas. Dan tidak alot, karena penyembelihannya dilakukan dengan tanpa penyiksaan, sesuai akhlaq Islami.

Sebelum pulang ke Indonesia, dia masih mampir dulu ke Mesir dan Arab Saudi. Dia baru pulang ke Indonesia tahun 1993, langsung ke Semarang.

Namun karena sangat rindu kampung halaman, selama dua tahun Habib Ghazi pulang ke Ketapang. Di sana dia tetap berdakwah, bahkan sampai masuk ke pedalaman.

Pada tahun 1995 dia pergi lagi ke Semarang, dan mendapatkan jodoh orang Semarang, Syarifah Soraya binti Usman Al-Gadri, yang asli Pontianak tetapi sudah lama bermukim di Semarang.

“Pada tahun 1995, saya belajar kitab Ihya’ulumuddin kepada Habib Abdurrahman bin Zein Al-Jufri hingga meninggalnya tahun 1997. Karena cinta saya pada kota Semarang inilah, saya ingin berdakwah hingga akhir hayat di sini,” tuturnya.

Guru lainnya adalah Habib Ahmad bin Idrus Al-Mutahar, yang mengajar hadits qudsi dan sejarah Islam, dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Bahr, yang mengajar kajian tasawuf. Ketiga gurunya di Semarang itu telah meninggal semua.

Jadwal Majelis

Selama seminggu penuh, waktu Habib Ghazi dihabiskan untuk mengajar dan memberikan taushiyah di berbagai majelis ta’lim. Sekarang Habib Ghazi tinggal di Kelurahan Wologito Barat Tengah IX No. 153 Semarang.

Di tempat tinggalnya belum banyak yang bisa membaca Al-Quran dengan baik, apalagi melaksanakan shalat dengan teratur. Karena itulah, di rumahnya, dia dan istrinya membina bapak-bapak, ibu-ibu, serta anak-anak untuk belajar membaca Al-Quran serta dasar-dasar Islam.

“Untuk mengaji kitab yang tipis pun, jelas belum nyambung, karena betul-betul harus diajarkan Islam dari dasarnya,” katanya menutup perbincangan dengan alKisah.

Nah, bagi Anda yang ingin belajar tafsir secara mendalam, silakan belajar kepada Habib Ghazi bin Ahmad Syahab. Bayangkan, sudah tiga tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru sampai surah Al-Baqarah ayat 173. Ini, sebagaimana telah disebut di muka, menunjukkan betapa dia sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran.
Sumber:http://alhabaib.blogspot.com/search/label/Habaib

Habib 'Abdur Rahman bin Musthofa al-'Aydrus


Di Kota Kaherah, tepatnya pinggir jalan di sisi maqam Sayyidah Zainab binti Imam 'Ali radhiyAllahu 'anhuma, cucunda Nabi SAW, bersemadinya seorang ulama dan wali besar keturunan Ba 'Alawi. Dalam gambar di sebelah kanan, boleh dilihat kubah kecil yang menaungi maqamnya Habib 'Abdur Rahman bin Musthofa al-'Aydrus. Ilmu dan kewalian beliau telah masyhur, jika tidak masakan setelah wafat beliau dikebumikan di sisi manusia agung dan mulia, anakanda Sayyidah Fathimah az-Zahra, RA Sayyidah Zainab RA. Banyak kisah-kisah yang menarik mengenai Habib 'Abdur Rahman al-'Aydrus ini, antaranya, diceritakan bahawa satu ketika tatkala berada di Kota Madinah al-Munawwarah, Habib 'Abdul Rahman bin Musthofa al-'Aydrus, Habib Abu Bakar bin Husain BilFaqih dan Habib Syaikh bin Muhammad al-Jufri rahimahumUllah saling berjanji sesama mereka untuk mengamalkan semua yang terkandung dalam kitab "Bidayatul Hidayah " karya Imam
Hujjatul Islam al-Ghazali rahimahUllah. Atas istiqamah dan kesungguhan serta keikhlasan mereka mengota perjanjian mereka tersebut, maka mereka berhasil bertemu dengan Junjungan Nabi SAW. Baginda Nabi SAW telah memberi sebuah kitab putih kepada Habib Abdul Rahman dan menyuruh beliau pergi ke Mesir. Habib Abu Bakar BilFaqih diberi sebuah pinggan dan disuruh pergi ke Asia, manakala Habib Syaikh al-Jufri diberikan tongkat dan tasbih lalu disuruh pergi ke Malabar.

Dipendekkan cerita, Habib 'Abdur Rahman bin Musthofa al-'Aydrus pun segera pergi ke Mesir. Beliau sampai di negara itu pada waktu malam dan kebetulan di rumah seorang syaikh dari para ahli fiqih sedang dilangsungkan pesta perkawinan. Tatkala tiba waktu shalat, diserukan iqomah. Sang Syaikh berkata:- "Yang paling faqih di antara kalian hendaknya maju untuk menjadi imam." "Siapa yang paling faqih di antara kami?" tanya seorang ahli fikih."Yang paling faqih adalah orang yang dapat menyebutkan 400 sunah dalam shalat sunnah fajar. Siapa pun yang dapat menyebutkannya, maka dia layak menjadi imam kita." Mereka semua menyerah. Habib 'Abdur Rahman bin Musthofa maju, kemudian menyebutkan 400 sunah salat sunah fajar, dan menambah beberapa lagi. Sang Syaikh berkata, "Kaulah yang layak menjadi imam kami." Beliau kemudian maju mengimami shalat. Penduduk Mesir kagum dengan kedalaman ilmu Habib 'Abdur Rahman.

Suatu hari beberapa ulama Mesir datang menemui beliau dengan sejumlah persoalan bahasa yang telah mereka persiapkan lebih dahulu. Padahal Habib 'Abdur Rahman kurang begitu menguasai ilmu nahwu. "Berilah kami jawaban atas persoalan- persoalan ini," kata mereka setelah bertemu Habib 'Abdur Rahman. Beliau membuka buku putih itu dan menemukan semua jawaban atas persoalan tersebut. Beliau lalu menukil dan menjelaskannya. Begitu seterusnya. Setiap kali ada yang bertanya, beliau selalu mendapati jawabannya telah tertulis di buku tersebut.

[Saduran dari "Jawahirul Anfas fi ma yurdhi Rabban Naas" jilid1 halaman 208 - 209 karya Habib Umar MawlaKhela.]

Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf: Dakwah di Tanah Gersang

Seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa dikeluarkan.
Makkah, kota di tengah gurun pasir nan tandus, selalu menjadi tujuan kaum muslimin setiap tahunnya untuk berhaji. Meski jarak jauh membentang, harus mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Bukan hanya demi sebuah kewajiban, yang harus ditunaikan bagi yang mampu, tapi lebih dari itu, demi kerinduan yang memuncak kepada Sang Pemilik Makkah, Pemilik Ka’bah, Allah Azza Wajallah.

Khusus bagi seorang muballigh yang alim dan shalih, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf, Makkah mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia tak ‘kan pernah melupakan kota ini. Di sinilah ia tumbuh dewasa, digembleng dalam taburan ilmu dan hikmah, di bawah asuhan dan bimbingan ulama besar kota Makkah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasany.

Saat ditemui alKisah di Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain, pesantren yang dibangunnya sejak tujuh tahun lalu, di Jalan Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada tanggal 2 November, sebelum ia pergi ke Tanah Suci Makkah pada 7 November, dengan senang hati habib yang berperawakan gagah itu menceritakan bagaimana pengalamannya saat belajar bersama gurunya tercinta di tanah yang dimuliakan dan disucikan Allah SWT.

“Alhamdulillah, tiada duka. Semuanya sangat menyenangkan.... Ini nikmat Allah yang luar biasa,” katanya.
Berikut penuturan Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf yang begitu mempesona:

Begitu Dekat dengan Nabi

Saya lahir dan tinggal di kota Tegal. Kedua orangtua saya berharap, anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, menjadi orang yang alim dalam ilmu agama. Sebab dengan menjadi orang alim, bisa bermanfaat, terutama untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan masyarakat umum.

Alhamdulillah, berkat usaha orangtua, saya dan kakak saya, Habib Thohir, diberangkatkan ke Makkah Al-Mukarramah, untuk berguru kepada Al-Allamah As-Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasani, atau sering disapa “Abuya”.

Abuya adalah ulama yang bersungguh-sungguh menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Beliau berusaha membentengi Aswaja, walaupun di sana tersebar Wahabi. Karena itu, murid-muridnya pun mempunyai semangat yang sama. Di tempatnya masing-masing, mereka gigih membentengi aqidah Aswaja, karena kita berkeyakinan bahwa Aswaja adalah satu-satunya aqidah yang benar.

Kami menuntut ilmu dengan senang. Mulai dari berangkat dari tanah air, hingga pulang ke tanah air, semua biaya ditanggung Abuya. Bahkan beliau memberi uang saku kepada kami. Pakaian, kitab, makanan, semua dijamin Abuya. Ruang tidur kami pun ber-AC. Jadi semua serba nikmat.

Tapi ada syarat utama yang beliau berikan kepada murid-muridnya. Yaitu, kami harus gigih menuntut ilmu, selalu menjaga akhlaq yang baik, wirid harus diperhatikan betul, dan selalu shalat berjama’ah.

Akhlaq yang mulia ini sangat penting dan harus diperhatikan sampai hal yang kecil, mulai dari perkataan, berpakaian, bagaimana berinteraksi dengan guru, orangtua, menghadapi murid, tamu, dan lain-lain.

Akhlaq ini sangat penting, lebih penting daripada kebanyakan ilmu. Ilmu banyak, tapi adabnya sedikit, jelek....

Selain mengenai masalah akhlaq, kami juga diajari bermacam-macam ilmu, seperti tafsir, hadits, fiqih, faraidh, tasawuf.

Jadi, murid-murid lulusan dari sana mempunyai keistimewaan tersendiri. Kalau bicara tafsir, mereka siap. Bicara hadits, mereka pun siap. Karena semua ilmu didalami.

Guru saya bukan hanya seorang alim, tapi juga ‘abid, ahli ibadah, yang luar biasa, baik dari segi bangun malam maupun wiridan. Beliau juga sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Beliau sering bermimpi bertemu Nabi Muhammad. Bahkan murid-muridnya atau teman-temannya, baik yang ada di pesantren maupun di luar pesantren, sering memberikan kabar gembira untuk Abuya dari Rasulullah lewat mimpi mereka. Ini sering terjadi.

Beliau juga tak pernah lepas dari shalat Istikharah. Bahkan jika hendak bepergian, beliau tidak akan berangkat kecuali setelah shalat Istikharah terlebih dahulu. Kadang persiapan sudah dilaksanakan, tapi kemudian mendapat kabar “lebih baik jangan pergi”, maka beliau membatalkannya.

Semua ini berkah dari hubungan dekat beliau dengan Nabi SAW. Kecintaan beliau kepada Nabi SAW luar biasa.

Rekreasi Islami

Jika ada waktu luang, beliau mengajak muridnya pergi ke tempat lain, misalnya ke Thaif, atau Hada, tempat yang dingin, untuk berekreasi. Tapi rekreasi ini rekreasi Islami. Di sana kami diajak membaca Maulid, setelah itu membaca ktiab, lalu shalat dan wirid berjama’ah. Kalau ada waktu kosong, beliau mempersilakan kami untuk bermain atau sekadar jalan-jalan. Tapi ketika waktu shalat tiba, kami harus tetap shalat berjama’ah.

Jika kami mempunyai waktu luang, beliau memerintahkan kami untuk selalu membawa kitab. Kata beliau, “Jangan pergi ke mana saja kecuali membawa kitab. Waktu kosong jangan dibuang begitu saja, tapi gunakanlah untuk menelaah kitab. Manfaatkan waktu untuk belajar dan beribadah.”

Waktu pertama kali saya datang, saya disyaratkan untuk belajar minimal lima tahun lamanya. Tidak boleh kurang. Abuya berkata, “Kamu nggak boleh pulang sebelum lima tahun. Sudahlah, kamu jangan mirikin apa-apa. Di sini saja belajar.”

Saya pun menerimanya dengan ikhlas. Ketika itu sekitar tahun 1982.

Murid-murid yang datang setahun kemudian, syarat lamanya belajar naik menjadi 10 tahun. Dan setahun kemudian, syarat itu bertambah lagi....

Abuya menerapkan sistem demikian karena beliau ingin murid-muridnya tidak pulang sebelum berhasil. Beliau sering mengatakan, “Kalau belajar, jangan suka pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Belajar di satu tempat terlebih dahulu sampai pintar. Jika sudah pintar atau sudah ahli, silakan pindah ke tempat lain.”

Sebelum murid-muridnya pulang, beliau akan mengevaluasi mereka.

Saya sendiri bisa pulang ke tanah air setelah tujuh setengah tahun. Beliau mengizinkan saya pulang dan ridha. Alhamdulillah.

Berkhidmah kepada Guru
Dalam menuntut ilmu, akhlaq terhadap guru harus diperhatikan. Kita berusaha bukan hanya untuk belajar, tapi juga berkhidmah, artinya melayani guru.

Bahkan berkhidmah di pesantren bukan hanya melayani guru, tapi juga teman. Kita membersihkan halaman, kamar mandi, dan sebagainya. Jadi pesantren kami tidak membutuhkan pegawai, semuanya dikerjakan santri.

Dikatakan, man khadam, khudim, orang yang melayani, pasti akan dilayani. Apalagi yang kita layani orang alim, orang shalih, seorang waliyullah.

Ada satu contoh dari Imam Al-Ghazali semasa beliau belajar. Beliau datang kepada seorang syaikh, orang alim.

“Wahai Syaikh, saya akan berkhdimah, tolong bagikan tugas kepada saya,” kata Imam Al-Ghazali.

Syaikh menjawab, “Semua sudah dipegang oleh para murid. Air wudhu saya sudah ada yang nyiapin, sandal saya sudah ada yang nyiapkan, semuanya sudah. Tinggal satu.”

“Apa itu?”

“Batu untuk istinja saya.”

Dulu, kalau orang buang air besar, menggunakan batu untuk membersihkan. Batu itu, setelah digunakan, ditaruh, kan najis. Supaya bisa dipakai lagi, harus dibersihkan, disiram, disucikan, dijemur. Nah, pekerjaan ini yang masih ada.

Maka, pekerjaan itu pun diterima Imam Al-Ghazali.

Hasilnya, dengan khidmah semacam itu, derajat Imam Al-Ghazali naik. Beliau menjadi orang alim, shalih, seorang wali, pengikutnya pun para wali besar. Masya Allah.... Inilah hikmah dari berkhidmah kepada guru.

Dan alhamdulillah, ketika saya pulang ke Indonesia, semua itu terbukti. Banyak yang melayani saya. Ketika saya hendak berdakwah, banyak yang membantu saya. Saya berpikir, ini semua berkah dari guru saya. Jadi, orang yang membantu, pasti akan dibantu.

Nikmat yang Luar Biasa

Di Makkah, selain belajar, kami juga bisa haji setiap tahun. Bisa juga umrah berulang-ulang, khususnya pada bulan Ramadhan, kami bisa hampir tiap hari umrah. Abuya mendapat jadwal mengajar di Masjdil Haram. Setiap berangkat, beliau selalu mengajak beberapa muridnya. Beliau mengizinkan kami untuk umrah.

Setiap tahun diajak haji. Haji juga dengan beliau, dengan orang alim. Di Indonesia orang pengin haji dituntun oleh kiai dan ustadz. Ini dengan orang alim yang hidupnya di Makkah.

Ketika beliau membaca doa di Arafah, bukan hanya muridnya yang datang, tapi juga kiai, ikut kumpul di kemah tersebut. Ya Allah, nikmatnya luar biasa....

Sungguh nikmat luar biasa. Mempunyai guru orang baik, tempat belajarnya baik, sarana dan prasarana di sana pun menyenangkan. Tapi syaratnya juga berat, seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa dikeluarkan.

Abuya adalah orang yang sangat tegas. Namun begitu, semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada murid-muridnya. Ada satu kesukaan beliau, yaitu dipijat oleh santrinya. Tapi bukan sembarang pijat, beliau mempunyai maksud agar ketika dipijat terjadi hubungan yang sangat dekat dengan muridnya.

Semua murid ingin memijat beliau. Setiap murid senantiasa menunggu panggilan beliau. Kami sangat mencintai guru kami. Hubungan dengan guru bukan hanya dunia, tapi juga akhirat. Kami semua ingin mendapat doanya dan syafa’atnya.

Suatu ketika, beliau memangil saya. Saya pun langsung meloncat, kegirangan, dan langsung cepat-cepat mendatangi beliau.
Ketika itu beliau bertanya, “Abah kamu punya anak berapa?”

“Dua belas, Abuya,” kata saya.

“Abah kamu kan anaknya banyak, satu untuk saya saja. Kamu untuk saya saya ya...,” kata Abuya.

Mendengar harl itu saya diam saja. Siapa yang tidak ingin menjadi putra Abuya. Tinggal dan berkhidmah kepadanya. Tapi saya juga ingat orangtua saya. Jadi, ketika Abuya mengatakan demikian, saya diam saja.

Saya merasa begitu dekat dan disayang Abuya. Tapi, bukan saya saja yang merasa demikian. Semua murid merasa disayang Abuya. Sungguh, beliau menyayangi kami semua.

Pada tahun 1989, Abuya mengizinkan saya pulang. Namun, sebelum mengizinkan muridnya pulang, beliau beristikharah.

Beliau mengizinkan saya pulang dengan memberikan banyak ijazah amalan kepada saya, beliau juga memakaikan imamah kepada saya. Dan tak lupa beliau memberi uang saku untuk saya pulang.

Ponpes Al-Haromain Asy-Syarifain

Sepulang dari Makkah, saya tinggal di Tegal. Pada tahun 1992, saya menikah dengan adik bungsu Habib Abdul Qadir Alatas, pengasuh Pesantren Al-Hawi, Condet.

Kemudian saya mulai bolak-balik Jakarta-Tegal, dan mulai mengajar di beberapa tempat. Hingga akhirnya orangtua saya mengizinkan saya tinggal di Jakarta, tepatnya di Kebon Nanas.

Setelah itu saya merintis pendirian pesantren. Saya mendapat izin dari Abuya, lalu mencari-cari tanah, dan mendapatkannya di Jln. Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Maka, pada 21 April 2003, berdirilah pesantren yang saya namai “Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain”.

Nama ini sesuai dengan tempat belajar saya, yaitu Makkah dan Madinah. Dua tempat yang disucikan dan dimuliakan.

Sedikit demi sedikit tanah di sekitar pesantren saya bebaskan. Kini luas tanah pesantren sekitar 7.150 meter. Guru-guru di pesantren ini sebagian berasal dari Pesantren Al-Anwar, Rembang, pimpinan K.H. Maimun Zubair, seorang kiai sepuh yang sangat alim dan shalih.

Setelah beberapa waktu, alhamdulillah, masyarakat di sini, Pondok Ranggon, menyambut dakwah saya dengan baik. Semua itu karena kami sepaham dan seaqidah.

Dalam berdakwah, saya mengikuti metode para habib dan ulama shalihin. Yaitu tidak memulai pengajian dengan langsung mengkaji kitab, tapi memulai dengan Maulid, dilanjutkan dengan pembacaan wirid, seperti ratib, kemudian pengajian, dan diakhiri dengan doa.

Mengapa harus Maulid dan wirid terlebih dahulu?

Ilmu ini sangat mahal. Lebih mahal daripada intan berlian. Ibarat orang menjual barang mahal, barang itu harus ditempatkan di tempat yang bagus dan apik. Jika tidak, dagangannya tidak akan laku. Tapi kalau ditempatkan di tempat yang bagus, insya Allah orang pun akan tertarik.

Contoh lainnya, bila kita hendak makan. Makanannya sangat lezat, tapi ditempatkan di piring yang kotor dan bau. Apakah kita mau memakannya? Tentu tidak. Karena itu, sebelum makan, piring tempat kita makan harus dibersihkan dulu.

Begitu pula dengan ilmu. Supaya ilmu meresap ke dalam hati, hati harus dibersihkan dahulu. Yaitu dengan cara membaca Maulid dan wirid. Dan supaya ilmu itu tidak keluar lagi, setelah pengajian kita membaca doa, supaya ilmu yang diajarkan ketika itu melekat ke hati dan menjadi penerang jalan hidup kita.

Alhamdulillah, dengan cara seperti ini, dakwah saya meluas ke mana-mana. Undangan untuk mengisi pengajian pun semakin banyak. Yang tadinya saya mengisi sebuah majelis di sebuah wilayah seminggu sekali, karena waktunya harus dibagi, untuk satu majelis hanya bisa satu bulan sekali. Hari-hari selebihnya kami serahkan kepada ustadz atau guru-guru yang sudah saya tunjuk, yang tentunya paham dan aqidahnya sama.

Dalam waktu satu bulan, paling tidak hanya 30 tempat atau majelis yang bisa saya datangi. Sementara kampung-kampung yang tersebar di sekitar sini ada ratusan kampung.

Majelis Mahabbaturrasul

Lalu, bagaimana supaya kampung-kampung yang masih “gersang” ini bisa tersirami dengan dakwah Aswaja dengan baik?
Saya pun membentuk majelis dakwah keliling bernama “Majelis Mahabbaturrasul”. Mahabbaturrasul artinya cinta Rasulullah, dan insya Allah cinta ini akan mendatangkan kecintaan Rasulullah kepada kita.

Majelis ini diawali dengan konvoi dari Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain lalu berakhir di sebuah tempat. Di tempat itulah jama'ah berkumpul, dan didakan acara ceramah. Penceramah tidak hanya saya, tapi juga kiai-kiai dan ustadz-ustadz yang datang ketika itu.

Awalnya, majelis ini hanya berlangsung satu bulan sekali. Namun karena permintaan semakin banyak, akhirnya diadakan seminggu sekali.

Setiap pengajian, alhamdulillah, jama’ah yang datang tidak hanya dari kalangan muhibbin, tapi juga para ulama, kiai, pejabat, orang awam, para pemuda. Ini sebagai tahaddusan binni'mah, menyebut-nyebut nikmat Allah, yang dianjurkan oleh Rasulullah.

sumber:

http://www.alhabaib.blogspot.com/

al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri


Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan
tahun 1938 di Semarang. Ayahanda beliau seorang ulama’ yang terkenal
dengan ketinggian akhlaqnya, keluasan ilmunya, kesederhanaan hidupnya,
yaitu Sayyidy al-Habib Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri, Ibunda beliau adalah
wanita sholehah Sayyidah Hababah Sidah binti Muhdlor Assegaf.

Ketika usia beliau 8 tahun, beliau diantar oleh ayahanda beliau ke kota Tarim
di Hadromaut (Yaman) untuk belajar pada Sayyidy al-Habib Abdulloh bin
Umar as-Syatiri. Beberapa guru beliau di sana adalah Sayyidy al-Habib Alwiy
bin Abdulloh bin Shihab, Sayyidy al-Habib Ali bin Hafidz bin Syeh Abubakar,
Sayyidy al-Habib Ali bin Toha al-Haddad dll. Di Hadromaut, beliau mendapat
ijazah pembacaan Maulid al-Ahzab secara langsung dari Syekh Muhammad
al-Ahzab.

Setelah 8 tahun di Hadromaut, beliau kembali ke Indonesia, beliau belajar
pada Sayyidy al-Habib Ahmad bin Umar Assegaf (Semarang), Sayyidy al-
Habib Toha bin Umar Assegaf (Semarang), Sayyidy al-Habib Ali bin Ahmad
(Pekalongan), Sayyidy al-Habib Ali bin Ahmad al-’Atthos (Pekalongan),
Sayyidy al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Sayyidy al-Habib Ali bin
Abdurrohman as-Syatiri (Jakarta) dll.

Beliau mengatakan jika sedang di Jakarta, beliau tidak lupa mengunjungi salah
satu dua Habib Ali, yaitu Sayyidy al-Habib Ali bin Abdurrohman al-Habsyi
dan Sayyidy al-Habib Ali bin Husein al-’Atthos.

Beliau selalu mengajarkan pada murid-murid beliau untuk menuntut ilmu, untuk
menghadiri majlis-majlis ta’lim, majlis-majlis yang rutin dihadiri beliau adalah
majlis pembacaan Maulid Nabi, peringatan Haul, majlis pembacaan shohih
Bukhori. Dalam satu kesempatan ketika berada di majlis rohah di kediaman
Sayyidy al-Habib Abubakar Assegaf (Gresik), beliau berkata, “Seandainya
keberkahan majlis ini ditebus dengan uang 1 miliar sekalipun maka tetap tidak
akan menggantikan keberkahan majlis tersebut.”

Di Semarang, beliau mengasuh beberapa majlis ta’lim, diantaranya adalah
pengajian ahad pagi di kediaman ayahanda beliau di Jl. Pethek 55 Semarang,
pembacaan Maulid di Mushola Nurul Iman di kampung Pranakan (kampung
beliau), pembacaan manaqib as-Syeh Abdul Qodir al-Jilani tiap malam Jum’at
di kediaman beliau, pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin tiap Sabtu pagi.

Salah satu amanat beliau, beliau mengajak untuk hidup sederhana dan beliau
mengajak istiqomah ikut dalam majlis-majlis beliau. Bahkan ketika hujan dan
banjir sekalipun, beliau tetap menghadiri majlis-majlis beliau, meski hanya
diboncengkan sepeda motor. Ketika terjadi banjir besar di Semarang tahun
1991, beliau berjalan dari kediaman beliau menengok keadaan kabar murid
murid beliau. Beliau pun ketika hadir di majlis beliau di Sragen, beliau hadir
berangkat dengan murid-murid beliau naik angkutan umum.

Ada satu hal menarik, ketika beliau menyanggupi untuk mengisi acara tahlil di
sebuah rumah, kebetulan rumah shohibul bayt kebanjiran. Beliau meminta agar
disediakan kursi, “Mari kita mulai di tempat ini, karena banjir tidak boleh
menyebabkan terganggunya hal-hal yang baik.” Tidak ada kebaikan yang
ringan, semua kebaikan itu berat, begitu nasehat beliau.

Nasehat-nasehat beliau adalah menghormati orang tua, beliau pernah berkata
bahwa kunci hidup beliau adalah Ibu ; beliau menganggap murid-murid
kecintaan beliau sebagai anak beliau sendiri ; kita harus senantiasa bersabar
karena sabar tidak ada batasnya ; kita harus senantiasa bermusyawarah dalam
semua hal, kalau ada sesuatu mintalah pendapat pada yang lebih tua ;
datanglah ke majlis-majlis kebaikan, majlis ta’lim, ambil yang baik buang
yang tidak baik. Tapi kalau majlis-majlis itu sudah mengajarkan untuk
bergolong-golongan maka tinggalkanlah majlis-majlis itu karena pasti tidak ada
kebaikan di dalamnya.

Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri berpulang
ke rahmatulloh pada tanggal 26 Juli 1997 / 21 Robi’ul Awwal 1417, tepat satu
minggu setelah beliau memandikan Sayyidy al-Habib Syeh bin Abubakar
Assegaf di Solo. Menjelang beliau berpulang ke rahmatulloh, beliau masih
mengisi acara, memberi nasehat ke murid-murid beliau. Nasehat terakhir
beliau adalah agar memperhatikan sholat 5 waktu.

Insya Alloh dengan mengikuti langkah-langkah beliau, maka kita akan sampai
ke langkah-langkah datuk-datuk beliau dan insya Alloh akan sampai ke
langkah-langkah Sayyidina Rosulillah Muhammad Saw.

Subhaanaka-lloohumma wa bihamdika, Asyhadu an-laailaahailla anta,
Astaghfiruka wa atuubu ilaika…

Oleh : Sayyidy al-Ustadz Mukhlis

Habib Muhammad bin Husein Ba' abud

Nasab beliau dari pihak ayah :
Muhammad bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Abdurrahman bin Abdullah bin Zein bin Musyayakh bin Alwi bin Abdullah bin Al Mu’allim Muhammad Ba’abud bin Abdullah yang bergelar ‘Abud bin Muhammad Maghfun bin Abdurrahman Ba-buthoinah bin Ahmad bin Alwi bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi yang dikenal dengan ‘Ammul Faqih bin Syech Muhammad Shohib Mirbath bin Syech Ali Kholi’ Qosam bin Syech Alwi bin Syech Muhammad bin Alwi bin Syech Ubaidillah bin Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-‘Uroidhi bin Al Imam Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Husein cucu Rasullullah dan buah hatinya bin Ali bin Abi Thalib wabnu Fatimah Az-Zahroh putri Rasulullah SAW.
Adapun nasab beliau dari pihak ibu adalah :
Muhammad bin Ni’mah binti Hasyim bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Aqil bin Syech bin Abdurrahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin Ali bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al Faqihil Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath dan seterusnya sampai akhir nasab yang tersebut diatas.
 
Sekilas tentang ayah beliau :
Al Habib Husein dilahirkan di “Bour”, Hadramaut pada tahun 1288 Hijriyah dari ayahnya Al Habib Ali, seorang yang alim dan Waliyullah yang merupakan salah seorang murid dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir dan Al Habib Abdullah bin Husein bil Faqih. Sedangkan ibunya adalah As-Syarifah Muzenah binti Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Alaydrus yang berasal dari daerah Tarbeh, Hadramaut.
Ketika usia Al Habib Husein 3 tahun wafatlah ayah beliau yaitu pada tahun 1291 Hijriyah di ‘Ardh Kheleh, Bour, maka ibundanyalah yang memelihara beliau, adapun ibunda beliau wafat pada tahun 1322 Hijriyah di kota Sewun yaitu yang ketika itu Al Habib Husein telah berada di Jawa.
Al Habib Husein dibesarkan di Bour dan belajar ilmu pada guru-guru disana, terutama ialah Al Habib Zein bin Alwi Ba’abud. Pada usia 20 tahun Al Habib Husein menikah dengan As-Syarifah Syifa’ binti As-Sayyid Abdullah bin Zein Ba’abud, yang mana As-Syarifah Syifa’ tersebut wafat di masa hidup Al Habib Husein. Pada tahun 1318 Hijriyah, berlayarlah Al Habib Husein ke Jawa, Indonesia dan berdiam beberapa lama di rumah keponakan beliau Muhammad bin Ahmad bin Ali Ba’abud di Surabaya.
Dan setelah wafat keponakan beliau tersebut, Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya menulis surat kepada Al Habib Husein yang ketika itu tinggal di Batu Pahat, Malaysia dimana isi surat itu meminta kepada Al Habib Husein untuk kembali ke Indonesia dan menikah dengan anak beliau yaitu janda dari keponakan Al Habib Husein sendiri As-Syarifah Ni’mah, agar supaya Al Habib Husein memelihara anak – anaknya yaitu Sidah, Abdurrahman dan Ahmad, oleh karena Al Habib Hasyim telah mengetahui kebaikan budi pekerti Al Habib Husein dan memilihnya untuk menjadi suami putrinya.
Maka datanglah Al Habib Husein ke Surabaya dan menikahinya, dan Allah SWT mengaruniai mereka berdua satu putra dan tujuh putri yaitu Muzenah, Alwiyah, Ruqoyyah, Muhammad, Nur, Maryam, Aminah, dan Aisyah. Al Habib Husein adalah seorang pedagang, beliau mempunyai sebuah toko dan mengirim barang-barang ke Sulawesi dan Kalimantan pada langganan-langganan beliau.
Cara hidup Al Habib Husein sangat sederhana, bersih, mengatur waktu sebaik-baiknya, tidur agak sore dan bangun tengah malam untuk bertahajud, di waktu pagi hari pergi ke toko sampai siang hari, beliau lazim sholat berjamaah di Masjid Ampel dan setelah sholat Maghrib beliau lazim mebaca Al-Qur’an dan Rotibul Haddad bersama anak-anaknya.
Beliau sangat memuliakan tamu yang datang padanya dan disaat lain beliau gemar membaca kitab-kitab atau menghadiri majlis pengajian Sayyidina Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya di Surabaya, begitu pula beliau banyak mendapat faedah ilmu dari mertuanya Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya yang terkenal kealimannya, begitu juga daripada mufti Jakarta masa itu Al Habib Ustman bin Abdullah bin Yahya adik dari mertua beliau apabila datang dari Jakarta ke Surabaya tinggal di rumah beliau dan mengadakan majlis ta’lim dan pengajian selama ia tinggal di Surabaya, dan banyak lagi majlis pengajian atau rouhah para ulama yang beliau hadiri seperti majlis Al ‘Allamah As-Sayyid Yahya Al Mahdali Al Yamani, Majlis Al Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi, Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, Al Habib Ahmad bin Muhsin Al Haddar yang tinggal di kota Bangil, Majlis Al Habib Alwi bin Thohir Al Haddad mufti Johor, Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik, dan Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang Jakarta yang mana ia adalah juga sahabat beliau semasa menuntut ilmu di Hadramaut, rohimahumullahu ta’ala.
Ciri-ciri Al Habib Husein diantaranya ialah beliau berparas tampan dan berkulit putih, berhidung mancung dan berbadan tinggi, bersih pada badan dan pakaiannya. Akhlak beliau murah hati, jujur, kasih sayang terutama pada fakir miskin dan anak-anak kecil, beliau rajin di dalam berumah tangga serta menjunjung tinggi ahli ilmu, dan beliau sering kali berkata pada istrinya dan juga keluarga bahwa ia memohon kepada Allah dan mengharap supaya putra beliau yaitu Al Ustadz Muhammad menjadi seorang yang mengajarkan ilmu, yang mana ALLAH SWT telah mengabulkan do’a tersebut.
Al Habib Husein banyak berjasa diantaranya seringkali menjamin pendatang-pendatang baru dari Hadramaut, terkadang memberi uang tanggungan, beliau sering memberi hutang kepada orang yang membutuhkan lalu menghalalkannya, banyak bershodaqoh, menderma untuk masjid ampel, dab beliau adalah sebagai salah satu pengurus Madrasah Al Khoiriyyah Surabaya dan Robitothul Alawiyyah, yang mana beliau bekerja secara jujur dan ikhlas.
Pada malam Jum’at tanggal 3 Muharram 1376 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1956 pukul 10.20 Al Habib Husein pulang ke rahmatullah, banyak sekali para pengantar jenazah beliau dari dalam dan luar kota lalu disembahyangkan di Masjid Jami’ Lawang yang diimami oleh sahabat beliau Qodhi Arob di masa itu yaitu Al Habib Ahmad bin Gholib Al Hamid, dan dimakamkan di pemakaman Bambangan Lawang, rohimahullahu rohmatal abror.
Adapun ibunda Al Ustadz Muhammad yaitu As-Syarifah Ni’mah dilahirkan di Surabaya pada tahun 1288 Hijriyah dari seorang ayah yaitu Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Aqil bin Yahya, dan dari seorang ibu As-Syarifah Maryam binti Al Habib Abdurrahim bin Abdullah Al Qodiri Al Djaelani keturunan daripada As-Syech Abdil Qodir Al Djaelani.
Beliau adalah putri bungsu Al Habib Hasyim, beliau tumbuh di sebuah rumah yang penuh ilmu dan ibadah, yang mana ibunda beliau As-Syarifah Maryam mendapatkan ilmu dan ketaqwaan berkat pendidikan ayahnya Al Habib Abdurrahim yang telah membawanya ke negeri Haromain dan tinggal beberapa lama di Madinatul Munawwaroh dan perjalanannya ke sebagian jazirah arab diantaranya Negeri Baghdad, maka tumbuhlah As-Syarifah Ni’mah ini atas ketaatan dan ketaqwaan dan cinta ilmu, lebih-lebih lagi paman beliau Al Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya yang sering datang ke Surabaya dan tinggal di rumahnya menjadikan beliau bertambah ilmu dan cahaya.
Beliau sangatlah menjaga sholatnya dan bangun akhir malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir-dzikir serta sholawat atas Nabi SAW, dan kebanyakan duduk-duduk beliau dengan para tamunya perempuan berisikan masalah-masalah agama, nasehat-nasehat atau membaca kitab-kitab, syair-syair dan hikayat-hikayat yang bermanfaat. Beliau sangatlah menjaga diri, bersih, murah hati dan membantu suaminya di dalam menerima tamu, bahkan setiap hari beliau membuat makanan-makanan untuk persiapan jika datang tamu, lalu jika tidak ada tamu yang datang beliau mengirimkan makanan tersebut ke Masjid yang dekat dengan rumahnya sebagai sedekah untuk anaknya yang telah meninggal dunia dan para kerabat beliau, khususnya kedua orang tua beliau.
As-Syarifah Ni’mah pulang ke rahmatullah pada pagi hari Jum’at pukul 06.40 pada tanggal 5 Jumadil Ula tahun 1358 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 23 Juni 1939 Masehi, dan dimakamkan di pemakaman Pegirian Surabaya di belakang makam ayahanda beliau Al Habib Hasyim bin Abdullah bin Yahya, rohimahumullahu jami’an amin.
Demikianlah sedikit tentang kedua orang tua Al Ustadz Muhammad bin Husein Ba’abud
Adapun beliau Al Ustadz Muhammad dilahirkan di Surabaya daerah Ampel Masjid di sebuah rumah keluarga yang dekat dengan Masjid Ampel sekitar 20 meter, pada malam Rabu tanggal 9 Dzulhijjah tahun 1327 Hijriyyah. Menurut cerita ayahanda beliau bahwa ibunda beliau saat melahirkan beliau mengalami kesukaran hingga pingsan, maka ayahanda beliau bergegas mendatangi rumah Al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya yang memberikan air kepada ayahanda beliau untuk diminumkan pada ibunda beliau, maka setelah diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan Allah ibunda beliau melahirkan dengan selamat. Dan Al Habib Abu Bakar bin Yahya berpesan untuk dilaksanakan sunnah aqiqoh dengan dua ekor kambing tanpa mengundang seseorang pada waktu walimah kecuali sanak keluarga ibunda beliau saja, maka terlaksanalah walimah tersebut dengan dihadiri oleh Al Habib Abu Bakar bin Yahya, dan beliau pula lah yang memberi nama dengan nama “Muhammad” disertai dengan pembacaan do’a – do’a dan fatihaah dari beliau.
Al Ustadz Muhammad mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dari masa kecilnya, lebih – lebih ayahanda beliau sedikit memanjakan beliau dikarenakan beliau adalah putra satu – satunya dan juga disebabkan firasat baik ibunda beliau terhadap beliau. Lalu pada saat umur beliau 7 tahun adalah masa beliau berkhitan, yang mana ayahanda beliau mengadakan walimah yang besar, dan setelah itu ayahanda beliau memasukkan beliau di madrasah Al Mu’allim Abdullah Al Maskati Al Qodir, hal ini sesuai isyaroh dari Al habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, akan tetapi beliau tidak mendapat banyak dari Al Mu’allim Al Maskati tersebut dan tidaklah lama masa belajar beliau disitu, kemudian ayahanda beliau memasukkannya di madrasah Al Khoiriyyah. Dan dikarenakan pada masa itu susunan pelajaran di dalam madrasah tidaklah seperti yang diharapkan, disebabkan oleh tidak adanya kemampuan yang cukup bagi para pengajarnya, maka beliau merasa tidak mendapatkan pelajaran kecuali hanya sedikit, akan tetapi setelah beliau berada di kelas 4 terbukalah hati beliau untuk ilmu, terutama setelah datangnya para tenaga pengajar dari Tarim Hadramaut, seperti guru beliau Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih dan Al Habib Hasan bin Abdullah Alkaf, ditambah dengan adanya guru-guru yang mempunyai kemampuan yang cukup seperti Al Habib Abdurrohman binahsan bin Syahab dan terutama oleh karena perhatian dari Al Arif billah Sayyidinal Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, yang mana Al Ustadz Muhammad merasakan berkat pandangan serta do’a-do’a beliau di dalam majlis-majlis rouhahnya, dimana Al Ustadz Muhammad sangatlah rajin menghadirinya, dan telah membaca beberapa kitab di hadapan beliau, juga bernasyid “Rosyafat” gubahan Al Habib Abdurrohman bin Abdullah bil Faqih dihadapan beliau bersama As Sayyid Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Al Habib Muhammad Al Muhdor sangat menyayangi beliau dan sering kali mendo’akan beliau, maka ketika itulah beliau merasa mendapatkan futuh dan manfaat juga barokah daripada belajar ilmu. Berlangsunglah masa belajar beliau di kelas 6 sampai hampir 6 tahun, dan di tengah-tengah masa belajar itu beliau sering menggantikan tempat para guru-guru di dalam mengajar bilamana mereka berudzur untuk datang mengajar.
Dan daripada nasib baik bagi beliau yaitu pada akhir tahun ajaran tepatnya pada bulan Sya’ban tahun 1343 Hijriyyah ketika para pelajar yang lulus menerima ijazah kelulusan yang dibagikan langsung oleh Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, beliau menerima ijazah dengan peringkat ke-satu dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu, bersamaan dengan itu Al Habib Muhammad Al Muhdor menghadiahkan kepada beliau sebuah jam kantong yang bermerk “Sima”. Lalu Al Habib Muhammad Al Muhdor mengusap-usap kepala dan dada beliau sambil mendo’akan beliau ketika Al Habib Aqil bin Ahmad bin Aqil pengurus madrasah waktu itu memberitahukan bahwa Al Ustadz Muhammad tahun itu akan diangkat menjadi guru di Al Madrosatul Khoiriyyah. Setelah beliau menjadi guru di Madrosatul Khoiriyyah, disamping mencurahkan tenaga di dalam memberikan pelajaran pagi dan sore di madrasah beliau juga banyak sekali memberikan ceramah-ceramah di banyak tempat serta menterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia ceramah-ceramah para mubaligh Islam yang datang dari luar negeri seperti Ad Da’i As Syech Abdul Alim As Shiddiqi dari India dan yang selainnnya. Rohimahumullahu ta’ala.
 
Dan inilah diantara guru – guru beliau :
 
Di dalam tasawwuf dan tarikh ialah ayahanda beliau Al Habib Husein bin Ali Ba’abud, di dalam membaca dan menulis bahasa Arab As Syech Ali bin Ahmad Ba-bubay, di dalam Al Qur’anul karim As Syech Abdullah bin Muhammad Ba Mazru’, dalam bahasa Arab, Khot, Insya’, dan Hisab As Sayyid Abdurrohman binahsan bin Syahab, di dalam fiqih, tafsir, tasawwuf, nahwu, dan ilmu balaghoh Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih, di dalam fiqih dan tajwid Al Habib Hasan bin Abdullah Alkaf, di dalam nahwu dan hisab As Sayyid Ja’far bin Zein Aidid.
Selain guru-guru ini masih banyak lagi dari golongan para wali dan alim ulama yang beliau sering membaca kitab-kitab di hadapan mereka, dan kebanyakannya adalah kitab-kitab hadits, tasawwuf, dan kitab-kitab karangan para salaf Alawiyyin. Diantara para ulama tersebut adalah :
Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor dari Bondowoso, Al Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi Kwitang Jakarta, Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Al Habib Al Alamah Alwi bin Thohir Al Haddad Johor, Al Habib Thohir bin Ali Al Jufri, Al Habib Ahmad bin Tholibul Athos Pekalongan, Al Habib Abdurrohman bin Zein Ba’abud, dan Al Habib Zein bin Muhammad Ba’abud, rodhiallahuanhum.
Pada tahun 1348 Hijriyyah, tepatnya pada hari Kamis sore tanggal 22 bulan Robi’ust Tsani ayahanda beliau menikahkan beliau dengan As Syarifah Aisyah binti As Sayyid Husein bin Muhammad bil Faqih, walimatul aqad berlangsung di rumah ayahanda beliau, dan yang menjadi wali adalah saudara kandung As Syarifah Aisyah yaitu As Sayyid Syech bin Husein bil Faqih yang telah mewakilkan aqad kepada Qodhi Arob di Surabaya masa itu yaitu Al Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Sedangkan walimatul urs pada malam Jum’at 22 Robi’ust Tsani di rumah istri beliau di Nyamplungan gang 4 Surabaya. Allah SWT telah mengaruniai beliau pada pernikahan ini enam putra dan delapan putri, mereka adalah :
Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah, Sidah, Hasyim, Fatimah, Abdullah, Abdurrohman, Alwi, Maryam, Alwiyyah, Nur, dan Ibrahim.
Pada bulan Jum’adil Akhir tahun 1359 Hijriyyah bertepatan pada bulan Juli 1940 masehi, dengan kehendak ALLAH SWT beliau sekeluarga pindah dari Surabaya ke kota Lawang, dan dikota inilah beliau mendirikan madrasah dan pondok pesantren “Darun Nasyiien”, yang pembukaan resminya jatuh pada awal bulan Rojab 1359 Hijriyyah, bertepatan dengan 5 Agustus 1940 Masehi. Yang mana pondok tersebut mendapat perhatian oleh banyak orang dari Jawa dan luar Jawa, serta memberi hasil dan barokah, alhamdullillah.
Mula-mula tempat untuk madrasah adalah di jalan Talun timur pasar Lawang, yang sekarang berubah namanya menjadi jalan Pandowo, dan setelah beberapa bulan berpindah pula ayahanda beliau dari Surabaya ke Lawang dan tinggal bersama-sama beliau, yang mana menambahkan barokah bagi rumah dan pondok beliau. Dan pada waktu penjajahan Jepang sampai awal masa kemerdekaan berpindah-pindahlah beliau dari satu tempat ke tempat yang lain di daerah sekitar kota Lawang, seperti Karangsono, Simping, dan Bambangan yang ketika itu terjadi serangan penjajah Belanda atas kota Malang. Walhamdulillah pada masa-masa berubah-ubah pemerintahan, pelajaran tidak terputus kecuali pada waktu penjajahan Jepang sekitar 17 hari karena penjajah Jepang pada waktu itu memerintahkan untuk menutup madrasah-madrasah ketika mereka menduduki suatu daerah, lalu ketika kembalinya penjajahan Belanda yang kedua terpaksa beliau menutup madrasah demi keamanan selama 3 bulan saja. Dan semenjak 1 April 1951 beliau sekeluarga pindah ke jalan Pandowo yang beliau diami sampai akhir hayat beliau, yang tepat dibelakangnya terdapat pondok pesantren dengan bangunan yang cukup baik untuk para pelajar yang tinggal, dengan kamar-kamar dan musholla bernama “Baitur Rohmah”, serta kelas-kelas, dan yang telah mengurusi pembangunan serta mengarsiktekturinya adalah putra beliau Al Ustadz Ali bin Muhammad Ba’abud.
Banyak sekali para pengunjung daripada ulama dan orang-orang sholeh ke rumah serta ke pondok beliau, diantara mereka adalah Al Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi Jakarta, Al Habib Zein bin Abdullah bin Muhsin Al Athos Bogor dan saudaranya Al Habib Husein, Al Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid Tanggul, Al Habib Alwi bin Ali Al Habsyi Solo, Al Habib Alwi bin Abdullah Al Habsyi Barabai Kalimantan, Al Habib Husein bin Abdullah Al Hamid Tuban, Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih Malang, Al Habib Abdullah Umar Alaydrus Surabaya, Al Habib Ali bin Husein Al Athos, Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf Jeddah, Al Habib Salim bin Abdullah As Syathiri Tarim, As Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki Makkah, dan banyak lagi selain mereka yang hal itu semua adalah membuahkan keberkahan Insya ALLAH Ta’ala.
Dan setelah ayahanda beliau wafat, ALLAH SWT mengilhami beliau untuk mengadakan rouhah atau majlis ta’lim pada tiap hari Kamis sore yang ditutup dengan bacaan tahlil atas arwah ayah bunda beliau untuk memperingati mereka berdua serta dengan tujuan memberi manfaat kepada para santri beliau dan selain mereka daripada para pecinta ilmu dari dalam dan luar kota, maka ketika As Sayyid Al Arif billah Al Habib Muhammad bin Umar Alaydrus Surabaya mendengar tentang hal itu beliau sangat gembira seraya mendo’akan untuk Ustadz Muhammad dan majlisnya. Maka dengan rahmat Allah SWT rouhah tersebut telah berlangsung selama 36 tahun di masa hidup beliau dan telah memberi kesan yang sangat baik.
Pengajian rouhah tersebut adalah rouhah yang berbarokah dengan dalil sebagian mimpi-mimpi dari sebagian keluarga dan selain mereka, yaitu bahwa rouhah dan sebagian majlis-majlis yang lain dihadiri oleh An Nabi SAW dan arwah para salafus sholeh, dimana terdapat tanda-tanda yang menunjukkan tentang hal itu, walhamdulillah.
Pada hari Rabu pagi jam 10:20 tanggal 18 Dzulhijjah tahun 1413 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 9 Juni 1993 beliau pulang ke rahmatullah SWT, ayahanda dan guru kami tercinta Al Ustadz Muhammad bin Husein Ba’abud. Almarhum disembahyangkan di pondok pesantren beliau pada keesokan harinya yaitu hari Kamis dan diantar jenazahnya oleh banyak orang ke pemakaman Bambangan Lawang dan dimakamkan beliau disamping makam ayahanda beliau.

Inilah yang diwasiatkan oleh hamba yang faqir kepada rahmat ALLAH SWT Muhammad bin Husein Ba’abud sesuai dengan yang diwasiatkan oleh Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir kepada istri-istrinya dan dzuriyatnya laki-laki dan perempuan selama turun temurun, wasiat ini teruntuk mereka dan untuk siapa saja yang mendengarnya, yaitu :

1. Hendaknya mereka menjalankan sunnah-sunnah nya atau perilaku atau perjalan penghulu daripada utusan ALLAH SWT, yaitu Sayyiduna Muhammad SAW, dan juga supaya mengikuti sunnah dan perjalanan para kholifah yang mendapat petunjuk “khulafaur rosyidin”, kesemuanya ini sesuai dengan firman ALLAH SWT dan juga berdasar sabda Rasulullah saw.
Barangsiapa tidak mampu menjalankan semuanya itu maka setidak-tidaknya janganlah keluar atau menyimpang daripada jalan ataupun petunjuk para salafus sholeh yaitu para leluhur kita yang sholeh serta terbukti kewaliannya. Dan barangsiapa belum mendapat jua taufik hidayat untuk itu semua maka paling tidak hendaknya ia meneladani kepada saya, yaitu meneladani di dalam hal ibadahku juga kholwatku, dan di dalam menjauhkan diri dari kebanyakan orang bersamaan dengan perlakuanku yang baik terhadap anak kecil dan orang besar laki-laki dan perempuan jauh maupun dekat tanpa harus sering berkumpul atau banyak bergaul, dan tanpa harus saling tidak peduli ataupun saling benci-membenci.

2.
Hendaknya sangatlah berhati-hati di dalam bermusuhan dan berselisih ataupun berkelahi dengan siapa saja, di dalam apa saja dan bagaimanapun juga.
Bagi yang telah mengalami saya diantara kalian maka janganlah tidak meneladani kepada jalanku yaitu di dalam hal-hal yang sifatnya terpuji, janganlah lebih sedikit dari itu.
3. Dan aku wasiatkan kepada mereka semua untuk selalu memohonkan kasih sayang rahmat ALLAH atas diriku serta memohonkan ampun dengan membacakan istighfar untukku sesuai dengan kesanggupannya masing-masing pada setiap waktu dan lebih-lebih di dalam hari-hari As-Syuro dan hari-hari di bulan Rojab dan di bulan Romadhon serta bulan Haji dan pada bulan dimana pada bulan dimana ALLAH SWT mentakdirkan akan wafatku, dan barangsiapa diluaskan oleh ALLAH atasnya dan dimudahkan atasnya untuk bershodaqoh maka hendaknya bershodaqoh untukku dengan apa-apa yang ringan atasnya sedikit atau pun banyak khususnya di dalam waktu-waktu yang lima ini. Dan aku mengizinkan bagi siapa saja yang hendak berhaji atau umroh atas diriku, dikerjakan oleh dirinya sendiri ataupun mengupahkan kepada orang lain sesungguhnya perbuatan itu dilipat gandakan oleh ALLAH SWT 10 kali lipat, ALLAH jua lah yang dapat menolong seseorang untuk berbuat kebajikan, semoga ALLAH SWT memberikan pertolongannya bagi diri kita sekalian untuk berbuat baik.
4. Kemudian aku juga berpesan kepada kalian untuk mempererat tali silaturahmi yaitu ikatan kekeluargaan, karena sesungguhnya silaturahmi itu sangat memberi pengaruh terhadap keberkahan harta dan rezeki dan salah satu penyebab dipanjangkannya umur, silaturahmi itu menunjukkan keluhuran budi pekerti dan tanda-tanda seseorang mendapat kebaikan di hari kemudian. Maka hati-hatilah kalian daripada memutuskan tali persaudaraan, karena sesungguhnya perbuatan itu sangatlah keji juga siksanya sangatlah pedih, seseorang yang memutus silaturrahim itu terkutuk berdasarkan dalil Al Qur’an, orang yang memutus adalah pertanda orang yang lemah iman, orang yang memutus tidak akan mencium bau surga, orang yang memutus maka kesialannya menular kepada tetangga-tetangganya, maka sambunglah tali persaudaraan kalian wahai saudara-saudaraku karena sesungguhnya tali rahim itu bergantung pada salah satu tiangnya singgasana ALLAH yang Maha Pengasih.
5. Dan saya berpesan pula kepada diri saya dan kepada orang-orang yang tersebut tadi agar supaya banyak beristikhoroh dan musyawarah di dalam segala urusan dan hendaknya selalu mengambil jalan yang hati-hati, walaupun pada hakekatnya berhati-hati itu tidak dapat meloloskan seseorang daripada ketentuan ALLAH dan takdir-NYA, akan tetapi menjalankan sebab-sebab tidaklah boleh ditinggalkan, justru oleh sebab itulah wasiat atau pesan-pesan dan nasehat-nasehat itu diperlukan dan dianjurkan, oleh karena hal itu semua adalah salah satu segi dari sebab-sebab di dalam mengajak orang kepada ALLAH dan mengajak untuk menuju kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat.
Semoga ALLAH SWT mencurahkan kasih sayangnya terhadap orang-orang yang suka bernasehat dan membalas mereka dengan kebaikan yang banyak, dan semoga ALLAH Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkan segala apa yang mereka katakan.
Hubungan sanad beliau dengan para masyayech :
Sanad beliau bersambung dengan para masyayech melalui ayah beliau Al Habib Husein daripada ibunya As Syarifah Muznah Al Aydrus dan dari Al Habib Zein bin Alwi Ba’abud daripada kakek beliau Al Habib Ali bin Muhammad Ba’abud daripada ayah-ayahnya, dan dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir shohibul masileh daripada Al Habib Umar dan Al Habib Alwi, daripada ayah keduanya Al Habib Ahmad, daripada ayahnya Al Habib Hasan, daripada ayahnya Al Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, daripada ayah-ayahnya, dan sanad para leluhur itu asal dimana para alawiyyin menerima, sebagaimana mereka juga menerima dari selain alawiyyin.
Sedangkan Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir daripada Al Habib Aqil bin Umar bin Yahya di Makkatal mukaromah ( kakek Al Ustadz Muhammad yang ketiga dari ibunda beliau ) , dan dari As Syech Al Imam Mansyur bin Yusuf Al Badiri di Madinatul munawaroh yang menerima dari Al Habib Al Imam Musyayach bin Alwi Ba’abud ( kakek Al Ustadz Muhammad yang keenam dari ayah beliau ).
Dan kakek beliau Al Habib Ali bin Muhammad Ba’abud menerima juga dari Al Habib Abdullah bin Husein bil Faqih, dan para masyayech ini juga masyayech dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir. Sedangkan melalui guru beliau Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih sanad beliau juga bersambung dengan yang telah tersebut diatas, oleh karena guru beliau adalah Al Habib Abu Bakar bin Muhammad bil Faqih yang menerima dari Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, dan oleh karena guru-guru beliau adalah :
Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri dan Al Habib Alwi bin Abdurrohman Al Masyhur dan Al Habib Seggaf bin Hasan Alaydrus, yang mana mereka telah menerima daripada Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi, dan beliau daripada Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, sedangkan Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi di dalam kitabnya “’iqdul yawaqitil jauhariyah” telah menyebutkan guru-gurunya dan sanad mereka dan ijazah-ijazah mereka dengan terperinci, rodhiallahu anhum ajma’in.