Senin, 23 Mei 2011

HARAMNYA DAGING BABI; ANTARA AJARAN ISLAM DAN KRISTEN



       Ini merupakan topik hangat yang sering kita temukan dalam diskusi lintas agama, khususnya antara Islam dan Kristen, jawaban yang diberikan juga sangat menarik karena setiap jawaban menimbulkan pertanyaan lanjutan yang tidak pernah berhenti kepada suatu kesimpulan yang memuaskan pihak yang bertanya. Kristen biasanya memulai bertanya :”Mengapa ajaran Islam mengharamkan makan babi..??”, kebanyakan pihak kaum Muslim mencoba menjawabnya dari sudut pandang kelimuan, karena jawaban bernuansa keimanan jelas tidak akan diterima, seperti misalnya :”karena memang dilarang oleh Allah..”, pihak Muslim lalu menguraikan kajian ilmiah yang menyatakan bahwa babi merupakan binatang yang kotor dan banyak mengandung penyakit. Jawaban ini ditimpali lagi oleh Kristen :”Khan sekarang dunia ilmu pengetahuan sudah maju, segala kandungan penyakit yang ada pada daging babi bisa diolah dan dihilangkan unsur penyakitnya..”. Lalu pihak Kristen memperkuat lagi dengan pertanyaan yang menggelitik :”Mengapa Tuhan menciptakan babi, kalau memakan dagingnya diharamkan..??”. Tulisan ini merupakan salah satu keinginan untuk menjelaskan pokok permasalahan disekitar pengharaman memakan babi oleh Islam dan pandangan saya terhadap aturan Kristen yang membolehkan makan babi, padahal sebelumnya ajaran Taurat mengharamkannya. Tentu saja penjelasan ini dilihat dari perspektif saya sebagai pemeluk Islam yang mencoba melihat permasalahan berdasarkan informasi yang diberikan Allah lewat Al-Qur’an, termasuk ketika melihat informasi yang diceritakan dalam alkitab disekitar proses membolehkan makan babi ini.

Alasan mengapa umat Islam haram memakan babi tercantum secara jelas pada ayat ini :

qul laa ajidu fiimaa uuhiya ilayya muharraman 'alaa thaa'imin yath'amuhu illaa an yakuuna maytatan aw daman masfuuhan aw lahma khinziirin fa-innahu rijsun
[6:145] Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor..


     Al-Qur’an mengatakan bahwa babi adalah ‘rijs/rijsun’ yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : kotor. Ternyata terdapat 10 kali pengulangan kata ini dalam Al-Qur’an, yaitu pada ayat [6:125], [10:100], [22:30], [33:33], [5:90], [6:145], [7:71], [9:95], [9:125 – sebanyak 2 kali], misalnya ketika Al-Qur’an bicara soal kaum munafik :

sayahlifuuna biallaahi lakum idzaa inqalabtum ilayhim litu'ridhuu 'anhum fa-a'ridhuu 'anhum innahum rijsun wama/waahum jahannamu jazaa-an bimaa kaanuu yaksibuuna
[9:95] Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.


      Dari pemakaian kata ini, maka pengertian ‘kotor’ tidak bisa dimaknai hanya kotor secara fisik saja, misalnya karena babi selalu memakan makanan yang kotor, suka hidup ditempat kotor, mengandung bibit penyakit, dll tapi bisa juga berarti kotor secara maknawi. Orang munafik yang digolongkan Al-Qur’an sebagai ‘rijs’ tersebut tentunya termasuk juga mereka yang bersih, selalu mandi, memiliki kesehatan prima, suka merawat diri, cantik dan tampan, namun sepanjang mereka memelihara sifat munafiknya, maka Allah menyebut mereka kotor/rijs. Pertanyaan yang menyebut bahwa kekotoran yang dikandung babi bisa dihapus melalui perkembangan ilmu pengetahuan, karena bisa menghilangkan bibit penyakit ataupun menetralisir kolesterolnya tidak melenyapkan ‘status’ rijs yang telah disematkan Al-Qur’an kepada babi. Kenajisan babi karena dinajiskan oleh Allah.

     Ayat ini diturunkan dan dunia ilmu pengetahuan mengkonfirmasikannya melalui perkembangan yang terjadi. Ketika dulu, pada saat ayat ini diturunkan, ilmu pengetahuan belum sampai menemukan bahwa dalam daging babi terkandung cacing pita, namun ‘status’ yang dimiliki babi tetap merupakan binatang yang kotor. Ketika ditemukan kandungan cacing pita, lalu ilmu pengetahuan mampu untuk menghilangkan unsur tersebut, apakah kemudian daging babi berubah status menjadi bersih..?? ternyata tidak, karena kemudian ditemukan kolesterol yang berlebihan didalamnya, dan ini juga bisa merupakan unsur yang merusak manusia. Lalu kolesterol bisa dikendalikan, katakanlah kemudian dunia ilmu pengetahuan menemukan cara untuk menetralisir kolesterol dalam daging babi, apakah lalu babi menjadi aman untuk dimakan..?? ternyata tidak, yang paling up-to-date adalah soal flu babi.. Maka ketika Allah mengharamkan babi karena rijs/kotor, kita menemukan fakta-fakta yang mendukung hal tersebut, hilangnya satu kekotoran tidak membuat masalahnya selesai karena muncul kekotoran yang lain. Umat Islam diselamatkan dengan aturan yang melarang mereka untuk memakan babi. Ternyata Allah memang lebih mengetahui mengapa Dia menetapkan suatu aturan, itu semata-mata demi keselamatan dan kebaikan bagi manusia juga, kepatuhan terhadap apa yang diatur oleh Allah akan menimbulkan kebaikan sekalipun mungkin ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia belum mampu untuk menjelaskannya secara ilmiah.

      Terdapat pertanyaan dari kalangan Kristen :”Mengapa babi harus diharamkan..?? bukankah bagi sebagian orang daging babi enak, bahkan lebih enak dari daging hewan yang lainnya seperti sapi, domba, ayam..?? Lalu mengapa Tuhan menciptakan babi yang enak tersebut kalau kemudian malah mengharamkannya..??”. Soal enak atau tidak enaknya suatu makanan sifatnya relatif dan tidak sama bagi semua orang, bahkan bisa terjadi bagi seorang yang dulunya merasa enak dan menikmati suatu jenis makanan, dimasa yang lain malah mual dan muntah ketika makanan tersebut disodorkan kepadanya. Seorang netters Muslim disini menceritakan tentang istrinya yang mualaf, ketika dulunya waktu masih memeluk agamanya yang lama, biasa memakan babi, tapi ketika beralih memeluk Islam berbalik menjadi jijik. Saya misalnya sangat suka sama makan pete, bagi saya pete malah jauh lebih enak dibandingkan jenis makanan lain seperti : daging dan ikan, namun istri saya langsung menjauh begitu melihat saya lagi makan pete. Jadi mengkaitkan pengharaman suatu makanan dengan enak atau nikmatnya makanan tersebut jelas tidak relevan, rasa jijik bisa muncul karena adanya pengharaman. Mengkaitkan pengharaman suatu makanan yang terkait dengan penciptaan makanan tersebut juga sama tidak relevannya, tidak semua hewan yang diciptakan Allah bisa/harus dimakan hanya karena alasannya sudah diciptakan, sekalipun mungkin secara biologis tubuh kita mampu untuk mencerna makanan tersebut.

     Dalam soal pengharaman memakan babi, umat Islam terlihat punya landasan yang sederhana dan tidak berbelit-belit, Allah mengharamkan babi karena Dia Maha Mengetahui apa mudhoratnya hewan tersebut kalau dimakan. Umat manusia kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan dan ternyata arahnya menkonfirmasi pengharaman tersebut, lalu umat Islam sudah terselamatkan dari dulunya karena kepatuhan yang mereka miliki sekalipun misalnya pengetahuan mereka belum sampai dan belum mampu menjelaskan mengapa babi dilarang. Sebaliknya umat Kristen punya cerita yang berbelit-belit ketika mereka harus menjelaskan mengapa membolehkan memakan babi padahal sebelumnya Tuhan mereka telah mengharamkannya. Pelarangan makan babi terdapat pada kitab Imamat 11, ternyata begitu banyak jenis binatang yang diharamkan oleh Tuhan kepada kaum Yahudi sehingga yang seharusnya ditanyakan mereka adalah ‘apa yang boleh dimakan’ ketimbang bertanya ‘apa saja yang tidak boleh dimakan’, karena terlalu banyak jenis makanan yang diharamkan bagi mereka. Al-Qur’an memberikan penjelasan mengapa Allah membuat aturan yang sedemikian ketat bagi kaum Yahudi ini :

[4:160] Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,


      Jadi alasan pengharaman banyaknya jenis makanan buat kaum Yahudi merupakan hukuman atas kedurhakaan mereka terhadap Allah. Disini memang tidak dijelaskan apakah babi termasuk jenis makanan yang sebelumnya dihalalkan, atau memang sudah haram dari ‘sononya’, namun yang pasti semua orang Yahudi harus mematuhi aturan ini sampai ada aturan berikutnya yang diturunkan Allah untuk merubahnya, dan sampai kedatangan Yesus Kristus hal ini tetap berjalan, sehingga Yesus-pun sebagai orang Yahudi menjalankan ketentuan Allah yang tercantum dalam Taurat tersebut. Lalu kapan dan dimana ditemukan aturan baru yang dijadikan dasar bagi umat Kristen untuk membolehkan makan babi..?? Dasar yang pertama tentunya mereka ajukan dari apa yang diucapkan oleh Yesus sendiri :

Mat. 15:11 "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."


     Terus-terang, ini sudah menjadi kelakuan ‘khas’ dari pemeluk Kristen dalam memperlakukan kitab suci mereka, suka memotong-motong ayat, tidak melihat konteks, lalu menafsirkannya agar sesuai kemauan sendiri. Sekarang mari kita lihat konteks omongan Yesus tersebut :

     Matius 15 dimulai dengan gugatan kaum Farisi yang menyampaikan keberatan mereka terhadap kelakuan murid-murid Yesus yang tidak membasuh tangan ketika mau makan, padahal itu sudah menjadi tradisi mereka sejak dulu (Mat 15:2), Yesus menjawab dengan melakukan gugatan balik dengan bertanya mengapa Yahudi juga melakukan pelanggaran adat istiadat mereka karena suka mengeluarkan omongan yang menghina dan melukai perasaan orangtua mereka (Mat 15:3-6) lalu memperkuat serangannya itu dengan mengutip nubuat Yesaya (Mat 15:7-9). Lalu Yesus menyampaikan ajaran yang sering dikaitkan umat Kristen untuk membolehkan makan babi yang dulunya diharamkan Tuhan tersebut (Mat 15:11).

     Jelas sekali bahwa konteks omongan Yesus tersebut bukan soal adanya aturan baru, merubah haramnya makan babi menjadi halal, Yesus seolah-olah mau mengatakan :”Hei Farisi.., kamu telah lancang menghakimi murid-muridku karena mereka tidak mencuci tangan sebelum makan, bukan CARA MAKAN mereka yang akan menjadikan murid-muridku menjadi hina, tapi kehinaan seorang manusia terkait dengan apa yang diucapkannya. Tidak mencuci tangan ketika makan adalah soal kecil, tapi yang kalian lakukan terhadap orangtua kalian melalui ucapan-ucapan yang menyakitkan hati mereka, itulah yang membuat kalian menjadi hina, kalian menganggap mereka hina karena telah melanggar adat istiadat, apa yang kalian lakukan justru lebih hina juga karena telah melanggar adat istiadat”.

      Selanjutnya ajaran Yesus ini dijelaskan lagi olehnya karena Petrus bertanya, Yesus lalu berkata :”Semua yang dimakan manusia akan menjadi kotoran, tidak peduli apakah dia sebelumnya telah mencuci-tangan atau tidak, tidak peduli apakah dia makan dengan mematuhi adat istiadat atau tidak, bagaimana cara makan tidak menentukan kehinaan diri seorang manusia, tapi rendahnya nilai manusia tergantung dari apa yang diucapkannya, karena ucapan datangnya dari hati, kotornya hati akan menghasilkan kelakuan yang kotor pula, termasuk ucapan-ucapan yang dikeluarkannya”. Lalu Yesus menutup ajarannya dengan mengucapkan :

15:20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang."


     Omongan Yesus ini bukan terkait soal merubah ajaran pengharaman makan babi menjadi halal, itu soal tata-cara makan yang dikaitkan dengan adat istiadat Yahudi. Lalu bagaimana bisa umat Kristen menjadikan ayat ini sebagai dasar yang menyatakan bahwa makan babi yang diharamkan Tuhan berubah menjadi halal..??

     Dalam alkitab Perjanjian Baru, kita tidak menemukan lagi adanya omomgan Yesus yang lain, yang ‘menyentuh’ soal perubahan status halal-haramnya daging babi selain Matius 15:11 yang telah dipelintir, dipotong-potong, dilepas dari konteksnya, lalu ditafsirkan sesuka hati untuk mendukung kegemaran Kristen akan ‘enaknya’ daging babi.

     Pihak Kristen lalu mencari-cari dasar ayat yang lain, lalu ketemu ajaran Petrus yang terdapat pada Kisah Para Rasul 10. Lagi-lagi terjadi pelintiran ayat tersebut dengan ‘jurus’ yang sama, memotong ayat, melepaskannya dari konteks lalu menafsirkannya sesuai keinginan sendiri. Cerita dimulai dengan seorang non-Yahudi (yang dianggap najis oleh ajaran Yahudi) bernama Kornelius yang didatangi malaikat dan menyuruh dia menemui Petrus di Yope (Kis 10:1-8). Ketika utusannya sampai di Yope, Petrus mendapat suatu isyarat dari Tuhan berupa turunnya makanan dari langit berupa : binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung (Kis 10:12). Waktu itu Petrus memang sedang lapar dan sedang menunggu makanan disiapkan (Kis 10:10) jadi Petrus bukan dalam kondisi darurat karena tidak mempunyai makanan. Lalu terdapat suara menyuruhnya untuk menyembelih dan memakan makanan tersebut (Kis 10:11) dan Petrus mengatakan menolak memakan makanan tersebut karena dia menyatakan makanan tersebut haram dan tidak tahir (Kis 10:14).

     Mengapa Petrus menyatakan makanan tersebut haram..?? disitu memang disebut adanya binatang berkaki empat, namun tidak jelas disebut nama binatangnya. Jawaban Petrus mungkin menunjukan bahwa jenis hewan yang ‘disodorkan dari langit’ tersebut memang berisi hewan yang dikategorikan haram untuk dimakan, makanya Petrus mengatakan bahwa dia tidak mau memakan makanan yang diharamkan tersebut, lalu terdengar suara Tuhan yang menyatakan bahwa ‘Apa yang dinyatakan halal oleh Tuhan tidak boleh diharamkan oleh Petrus’. Bagaimana reaksi Petrus terhadap peristiwa aneh ini..?? apakah dia kemudian menyimpulkan ;”Wah..kalau begini saya sudah boleh donk pesta-pora memakan babi..??". Ternyata Petrus malah berpikir tentang sesuatu yang lain :

10:16 Hal ini terjadi sampai tiga kali dan segera sesudah itu terangkatlah benda itu ke langit.
10:17 Petrus bertanya-tanya di dalam hatinya, apa kiranya arti penglihatan yang telah dilihatnya itu. Sementara itu telah sampai di muka pintu orang-orang yang disuruh oleh Kornelius dan yang berusaha mengetahui di mana rumah Petrus.


      Ternyata ayat tersebut menyatakan bahwa kejadian turunnya makanan dari langit, MERUPAKAN ISYARAT tentang kejadian yang akan dialami Petrus, jadi bukan dalam arti harfiah bahwa Tuhan menyodorkan hewan yang selama ini diharamkan seperti babi, untuk mulai saat itu dihalalkan. Tidak ada bukti bahwa setelah kejadian tersebut kaum Yahudi (terutama Yahudi pengikut murid-murid Yesus) berpesta-pora memakan babi. Tidak ada juga penjelasan bahwa Petrus memakan hewan yang disebutkannya haram tersebut karena makanan itu kembali terangkat ke langit, lagipula diceritakan kalau pada saat itu Petrus bukan dalam keadaan tidak punya makanan, tapi sedang menunggu makanan disiapkan.

      Ternyata kejadian ghaib tersebut merupakan isyarat dari Tuhan terkait dengan Kornelius yang ingin bertemu dengan Petrus. Bahwa kaum non-Yahudi yang selama ini dikatakan najis dan tidak tahir, dibolehkan untuk dibaptis. Lihat apa penjelasan Petrus ketika dia menafsirkan soal makanan yang turun dari langit :

10:28 Ia berkata kepada mereka: "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.


      Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud memang bukan soal makanan halal atau haram, itu hanyalah merupakan isyarat yang telah dibayangkan Tuhan kepada Petrus tentang peristiwa berimannya Kornelius menjadi pengikut Yesus sekalipun dia bukan orang Yahudi :

10:34 Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: "Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.
10:35 Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.
10:44 Ketika Petrus sedang berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu.
10:45 Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga,


Memang terdapat ‘peluang’ yang bisa mengarahkan bahwa kejadian aneh yang dialami Petrus tersebut terkait dengan soal makanan, yaitu berdasarkan pernyataan kaum Farisi yang bertanya kepada Petrus :

11:3 Kata mereka: "Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka."


     Pernyataan ini bisa menunjukkan adanya keterkaitan peristiwa tersebut dengan soal halal-haramnya makanan yang dimakan Petrus dirumah kaum Romawi yang memang terkenal suka makan babi, namun argumentasi ini terlihat sangat lemah, karena ternyata Petrus kemudian menjawabnya dalam konteks najis atau tidaknya kaum ‘gentile’ yang selama ini memang telah dinajiskan dalam ajaran Yahudi. Setelah mengulang kembali peristiwa ghaib yang dia alami sampai ketika Petrus mendatangi rumah Kornelius, Petrus lalu menjelaskan :

11:16 Maka teringatlah aku akan perkataan Tuhan: Yohanes membaptis dengan air, tetapi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.??
11:17 Jadi jika Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus, bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?"
11:18 Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: "Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup."


      Mengkaitkan peristiwa tersebut dengan aturan baru untuk menghalalkan makan babi yang sebelumnya diharamkan merupakan kesimpulan yang ‘jauh panggang dari api’, selain hanya berasal dari dugaan dan tuduhan kaum Farisi saja, Petrus juga sama sekali tidak mengkaitkan penjelasannya kepada soal tersebut.

      Sekarang sudah dijelaskan bahwa ayat-ayat yang mendasari perubahan aturan makan babi dari Yesus maupun Petrus ternyata lemah dan hanya hasil dari pelintiran orang-orang Kristen yang memang menggemari daging babi. Kalau begitu siapa lagi yang harus dijadikan sandaran agar nafsu dan kegemaran terhadap babi tersebut bisa punya landasan ‘alkitabiah’..?? Maka mau tidak mau umat Kristen kembali menyodorkan Paulus.

     Paulus sendiri punya ‘agenda sendiri’ dalam menyebarkan ajaran Kristen yang dicantelkannya kepada ajaran Yesus, bahwa ‘target market’ Paulus adalah kaum Romawi dan Yunani non-Yahudi yang memang punya kegemaran makan babi. ‘Promosi’ ajaran Yesus dengan membawa-bawa aturan Yahudi akan membuat ‘dagangan’ Paulus tidak bakalan laku di masyarakat yang ditujunya. Paulus lalu ‘memodifikasi’ ajaran Yahudi yang dijalankan oleh Yesus dengan cara membuang aturan-aturan yang dianggapnya bisa jadi penghalang diterimanya ajaran tersebut. Secara umum Paulus mulai dengan menyerang hukum Taurat dan mengalihkannya dengan cara mengangkat Yesus sebagai ‘pengganti’ aturan Taurat :

Kol 3:11 dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.
Gal 5:1 Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.

Khusus soal makanan, Paulus menyampaikan ajarannya :

1 Kor10:25-26 ”Kamu boleh makan segala sesuatu yang dijual di pasar daging, tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani. Kalau kamu diundang makan oleh seorang yang tidak percaya, dan undangan itu kamu terima, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu, tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani.

Kol 2:16-17 “Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru atau pun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus”.


      Dari rangkaian ayat-ayat alkitab yang dijelaskan ‘melalui kacamata’ seorang Muslim ini, maka sebenarnya sandaran penghalalan makan babi yang sebelumnya diharamkan oleh Tuhan kepada kaum Yahudi memang hanya berdasarkan ajaran Paulus, dan hal tersebut didasari oleh motivasi Paulus untuk menyebarkan ajaran yang dicantelkannya kepada ajaran Yesus, untuk bisa diterima kamu non-Yahudi. Dalam menanggapi kelakuan Paulus ini tercatat adanya pertentangan dan konflik antara Paulus dengan para murid Yesus, saya sudah menyampaikan ceritanya pada :



     Sebenarnya sikap para murid Yesus tentang persoalan apakah aturan Taurat yang sangat ketat tersebut juga diberlakukan bagi pihak non-Yahudi yang telah mendapat pencerahan, tergambar dari kelonggaran yang mereka berikan, bahwa aturan yang berlaku dalam hukum Taurat memang hanya diberikan khusus bagi kaum Yahudi, karena salah satu penyebabnya adalah sebagai hukuman Tuhan atas kedurhakaan mereka dahulunya (Lihat QS 4:160). Para murid kelihatannya beranggapan aturan tersebut tidak bisa diterapkan bagi kaum non-Yahudi karena mereka sama sekali tidak ikut ‘cawe-cawe’ dalam kesalahan kolektif Yahudi terhadap Tuhan. Namun pada saat itu mereka juga belum menerima adanya aturan baru yang bisa diterapkan secara universal baik untuk mereka sendiri maupun pihak non-Yahudi yang mempunyai iman yang sama dengan mereka. Pendapat mereka ini tercatat dalam alkitab :

15:10 Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri?

15:19 Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah,


      Lalu mereka melakukan ‘ijtihad’ terhadap fenomena baru yang belum pernah mereka temukan dimasa sebelumnya ini. Untuk menolak minat kaum non-Yahudi yang telah tercerahkan ini dengan alasan ajaran yang dimiliki tersebut berlaku hanya bagi kaum Yahudi saja tentulah tidak bijaksana, namun sebaliknya menerima mereka dengan menerapkan semua aturan yang diberlakukan bagi kaum Yahudi juga sama tidak bijaksananya. Menanggapi masalah ini para murid Yesus kemudian menerapkan ‘aturan peralihan’, prinsipnya ‘menjalankan prinsip-prinsip aturan Yahudi sesanggup mungkin’ terhadap kaum non-Yahudi :

15:20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.

       Intinya adalah : tinggalkan penyembahan terhadap berhala, jauhi diri dari kemaksiatan dan jangan memakan makanan yang haram. Namun pada ayat selanjutnya terlihat ada kebimbangan mereka terhadap keputusan yang mereka bikin, kemungkinan karena mereka takut ‘ijtihad’ tersebut disalah-gunakan sehingga jauh menyimpang dari apa yang sebenarnya mereka maksudkan :

15:21 Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota, dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat."


      Kondisi ini juga diperkuat dengan reaksi mereka ketika mendengar Paulus ‘terlalu kreatif’ menyampaikan aturan yang mereka bikin tersebut :

21:21 Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.


      Lalu para murid menyuruh Paulus untuk bertobat (mengenai kelanjutannya bisa anda baca pada link yang saya sampaikan tentang : Pertentangan antara para murid Yesus dengan Paulus)

      Ada kesan yang kuat bahwa setelah kepergian Yesus Kristus, para murid yang setia terhadap ajarannya dalam posisi menunggu datangnya utusan berikutnya yang membenarkan apa yang disampaikan Yesus dan memberikan aturan baru yang berlaku secara universal. Keadaan ini dicatat dalam Al-Qur’an :

[61:6] Dan (ingatlah) ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."


      Al-Qur’an mencatat bahwa pada saat terakhir keberadaan Yesus ditengah murid-muridnya, dia menyampaikan bahwa akan datang seorang utusan yang akan membawa risalah baru yang berlaku bagi mereka, maka ketika mereka menemukan kenyataan banyaknya pihak non-Yahudi yang berminat untuk mengikuti ajaran yang mereka anut, mereka tidak berani untuk menyatakan aturan yang khusus diterapkan bagi kaum Yahudi juga berlaku bagi non-Yahudi. Kalaupun mereka menerapkan aturan baru, itu dimaksudkan sebagai aturan 'sementara' menjelang datangnya utusan yang telah diinformasikan oleh Yesus itu. Khususnya soal membolehkan makan babi, saya tidak menemukan adanya indikasi yang mengarah kesana, kemungkinan inilah yang kemudian ‘disambar’ oleh Paulus untu dimasukkan kepada ajarannya.

      Sekarang semuanya berpulang kepada umat Kristen sendiri, apakah mereka mau ‘lebih cerdas’ mensikapi ajaran makan babi ini. Perkembangan ilmu pengetahuan terlihat mengkonfirmasi dan memberikan dukungan terhadap pengharaman dengan munculnya temuan penyakit baru yang silih berganti terkait dengan babi, umat Kristen tetap mengkonsumsi babi hanya dengan alasan sepele, karena enak. Sementara ketika umat Kristen ‘ melirik ke tetangga sebelah’, kepada umat Islam, mereka menemukan kenyataan bahwa umat Islam yang taat sudah terselamatkan oleh ajaran mereka tanpa harus menderita, karena akibat pengharaman makan babi maka muncul rasa jijik dan tidak memakan babi bukanlah suatu perbuatan yang menimbulkan ‘penderitaan’.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Islam mengharamkan babi krn kotor, di cuci saja kan beres. Kristen mengharamkan kelakuan babi yg rakus dan serakah. Jadi masalah kelakuan bukan soal makan minum. Itulah resikona menjilak ajaran Alkitab tanpa pengertian yg benar. Alkitab itu hrs di paham secara rohani bukan secara hurufiah spt cara pemahaman thd Al Quran. Itulah kesesatan umat islam

hardy mengatakan...

Umat Islam hanya patuh dan taat pada ajarannya. Itulah yang membedakan kamu dan anda.

Posting Komentar